Jika saat siang tadi Anin bisa menelan banyak makanan di rumah ayahnya, berbeda dengan malam ini. Anin tidak bisa menikmati makan malamnya. Suasana di meja makan terasa mencekam juga tegang, hingga membuatnya berpikir pencernaannya pasti akan terganggu setelah ini.
Kedua mertuanya makan dalam diam meski sesekali mata keduanya melirik bergantian pada ketiga pria yang merupakan keturunan Arya Gunawan itu. Sementara Radhit terlihat tenang, seperti orang yang paling terbiasa dengan suasana ini. Pria itu lah yang lebih dulu menghabiskan makanannya tanpa merasa terganggu.
Dan sama seperti dirinya yang tidak bisa makan dengan baik, Yudha pun juga terlihat begitu. Bahkan disaat Anin masih mampu menghabiskan makanannya meskipun dengan gerakan tangan yang terasa berat, Yudha sama sekali tidak. Hanya beberapa suapan yang masuk ke mulut suaminya itu. Karena sepanjang makan malam, rahang Yudha lebih sering mengeras.
Dan penyebab sikap Yudha seperti itu adalah sosok yang duduk tepat di seberangnya. Dimas terang-terangan memperhatikan Anin dengan tatapan mesum sehingga membuat istrinya tidak nyaman. Dimas seperti sengaja memprovokasinya, atau memang pria itu menunjukkan ketertarikan pada Anin secara jelas.
Meski diliputi kemarahan, Yudha tetap berhasil menahan diri untuk tidak membawa istrinya keluar secepat mungkin dari rumah ini. Setelah tujuannya datang kesini tersampaikan, dia berjanji tidak akan lagi membawa istrinya ke tempat yang ada Dimas juga disana.
"Jadi kamu tetap akan pindah?" Suara Merliana memecah keheningan yang menyelimuti enam orang itu.
Setelah menyelesaikan makan malam, mereka pindah ke ruang keluarga. Beberapa menit terlewati dengan duduk disana, tidak ada yang membuka suara. Yudha yang seharusnya lebih dulu berbicara untuk memberitahu keluarganya tentang kepindahan mereka pun malah fokus kepada senyum miring yang terlihat di bibir Dimas.
"Ya," jawab Yudha sebelum menoleh kearah ibunya. "Saya dan istri saya datang malam ini karena ingin berpamitan kepada Papa dan Mama. Kami akan berangkat besok siang."
"Apa kamu sudah memikirkannya dengan matang? Saran dari Mama sebelumnya akan jauh lebih baik untuk kamu dibandingkan pilihan kamu sekarang."
Tidak! Saran dari ibunya tidak ada satu pun yang benar di mata Yudha. Baik itu pekerjaan hingga perempuan yang diinginkan sebagai menantunya pun semata-mata hanyalah demi keegoisan ibunya saja. Setelah dulu melepaskannya, ibunya itu kini mencoba untuk mengekangnya. Tentu saja Yudha tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
"Keputusan saya sudah bulat, Ma. Saya menyukai pekerjaan saya sekarang. Dan saya pun sangat bahagia dengan pilihan saya."
Merliana tentu bisa melihat itu meski dia berusaha keras untuk menyangkalnya. Tapi dia ingin Yudha kembali ke sisinya, menjadi anak penurut sebelum dia dan suaminya mengubah banyak hal. Sekalipun terlihat egois di mata putranya itu, tidak apa-apa asalkan dia mendapatkan apa yang diinginkannya.
"Tapi penghasilan dari usaha kamu pasti belum seberapa. Apa itu akan cukup untuk kebutuhan kamu sehari-hari?"
"Lebih dari cukup untuk kami berdua. Saya akan pastikan istri saya tidak hidup kekurangan. Tidak ada yang perlu Mama khawatirkan."
"Pikirkan lagi, Yudha," pinta Merliana keras kepala. Sifat yang sama seperti yang dimiliki Yudha jelas diturunkan darinya. "Akan lebih baik kamu bekerja di perusahaan Papa kamu dibandingkan—"
"Kalau Yudha sudah memutuskan akan menetap disana, biarkan saja dia menjalaninya." Arya Gunawan memotong ucapan istrinya. "Kamu jangan memaksanya lagi."
"Mas!" pekik Merliana pada suaminya. Teguran itu membuatnya merasa kesal. "Yudha itu putra kamu juga."
Jumlah kerutan yang tampak di wajah Arya Gunawan bertambah. "Aku tidak pernah menganggapnya bukan putraku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold You in My Heart
ChickLitAnindia Puspita pasrah ketika ditinggalkan Bastian Yudha Gunawan sejak dia dinikahi dan dibawa untuk tinggal di rumah suaminya itu. Berminggu-minggu lamanya Yudha tidak pulang dengan alasan pekerjaan setelah pesta pernikahan mereka selesai dilaksana...