Bagian 2

16.8K 1.2K 9
                                    

Anin menarik satu botol minuman dari dalam kulkas dengan tatapan setengah menerawang. Perkataan ayahnya ketika mereka berbicara berdua tadi sebelum mengumpulkan semua anggota keluarga untuk memberi informasi mengenai keputusan yang sudah diambil ayahnya seakan-akan masih terngiang-ngiang di telinganya hingga sekarang.

"Apa kamu yakin pernikahan dengan Yudha benar-benar keinginan dari hatimu dan bukannya dari dorongan sesuatu ataupun seseorang?"

Selama ini ayahnya selalu memikirkan dan mengusahakan hal yang terbaik untuknya. Tapi tak jarang Anin sering kali berbohong hanya demi membuat ayahnya tidak khawatir dengan apa yang sedang dia hadapi. Hanya saja berbeda untuk kali ini. Karena setelah menjawab bahwa dia yakin dengan keputusannya menerima lamaran Yudha, Anin merasa hatinya sedikit tidak tenang.

Apa mungkin karena ayahnya tau apa yang Anin inginkan dengan menerima lamaran Yudha sehingga perasaannya menjadi kacau seperti sekarang?

"Seperti yang sudah aku duga sebelumnya. Kesempatan bagus seperti itu nggak mungkin akan kau lewatkan begitu saja. Bersikap seperti menolak tapi nyatanya kau sangat tertarik dengan lamaran keluarga Gunawan. Apa ya sebutannya selain dari kata.... munafik?"

Belum sempat menelan air yang baru masuk ke dalam mulutnya, Syania datang mendekati Anin yang bersandar ke meja. Beberapa detik setelahnya Anin juga bisa melihat keberadaan Rianti yang berjalan dibelakang Syania. Dua saudarinya itu jelas dengan sengaja mendekatinya hanya untuk membuat masalah.

Syania mengatakan kalimat itu dengan nada mengejek. Padahal seharusnya kakak ketiganya atau putri sulung ayahnya itu bersyukur bahwa sedikit banyak Anin sudah membantu Syania bebas dari pernikahan yang tidak dia inginkan. Mengingat jika bukan karena keinginan Syania, mungkin sang ibu tidak akan mendesak Anin sebelumnya.

Sejujurnya Anin sama sekali tidak kaget dengan kedatangan kedua kakaknya itu karena sudah lebih dulu memprediksinya. Pembicaraan ayahnya bersama anggota keluarganya beberapa saat lalu, yang membicarakan mengenai rencana pernikahan Anin dengan Yudha sudah pasti menarik perhatian keduanya. Dan hal itu menjadi bahan yang tepat untuk mencoba menjatuhkan mental adik bungsu mereka.

"Dengan begitu, bukan kah mereka akan jadi pasangan yang serasi, Mbak?" Rianti terkekeh singkat sebelum melanjutkan kalimatnya. "Satu si anak haram dan satu lagi si penyandang cacat. Perpaduan yang sempurna untuk saling menerima kekurangan masing-masing. Cocok sekali!"

"Dia nggak akan perduli dengan hal itu, Rianti." Syania memandang Anin dengan tatapan merendahkan. "Asal bisa menumpang hidup pada keluarga kaya seperti keluarga Gunawan, penampilan calon suaminya nggak akan dia perdulikan lagi. Berbeda dengan kita."

Ya! Syania membuktikan bahwa dirinya memang melihat seorang pria berdasarkan kesempurnaan fisik dan juga penampilan. Anin sendiri pun tahu itu. Terbukti dengan kekasih Syania yang hanya mendapatkan poin bagus untuk dua hal itu. Tanpa Syania pernah memikirkan bagaimana sikap kekasihnya diluar sana sehingga ayahnya pun tidak memberi restu agar mereka bisa bersama. Miris sekali!

"Sejujurnya Yudha tampan, Mbak. Aku akui Anin cukup mampu menilai fisik laki-laki. Tapi ketampanan pria itu dengan mudah menutup matanya sampai-sampai dia nggak bisa lihat kalau pria yang melamarnya itu nggak akan bisa berjalan tanpa bantuan. Uang memang membutakan ya?"

Lalu apa salahnya? Jika dia memang tidak bisa berjalan, aku bisa memapahnya perlahan. Aku bisa membantunya.

Rasanya Anin ingin meneriakkan kalimat itu didepan wajah kedua kakaknya itu. Tapi Anin lebih memilih untuk menahan diri dan membiarkan keduanya sibuk untuk berasumsi dan berpikiran buruk padanya.

Syania dan Rianti akan merasa semakin senang dan antusias untuk mengolok-oloknya jika emosi Anin berhasil mereka pancing. Dan Anin jelas tidak akan membuat keduanya semakin berada di atas angin hanya karena berhasil membuatnya kesal.

Hold You in My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang