04-Sebuah Origami

72 18 3
                                    

Setelah acara pertemuan dengan keluarga Davin dan makan malam bersama selesai, aku memilih beranjak pergi ke kamarku. Bukan. Bukannya aku ingin menghindari pertanyaan-pertanyaan orangtuaku. Hanya saja yang aku butuhkan saat ini adalah ketenangan.

Dengan sedikit berlari kecil, aku menaiki anak tangga yang dijadikan sebagai penghubung antara ruang tamu dan kamarku. Bahkan, tak henti jua ku gerakkan tanganku menyeka air mata yang terus mengalir di pipiku.

Sungguh, rasanya kenyataan pahit ini benar-benar telah membuat kepercayaanku hilang akan sesosok lelaki. Bagaimana bisa, aku begitu terbuai oleh janji manis yang diberikan Izhar? Dan mengapa, aku pun harus menjadi wanita bodoh, yang mudah mempercayai janji itu?

Oh Allah, begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang menggelantungi pikiranku dan mengapa sedikit pun aku tak menemukan jawabannya?

Tak menunggu lama. Kini, setelah mendapati daun pintu itu, ku ulurkan tanganku meraih knop nya. Lantas, dengan cepat, ku gerakan kaki ku berlari menghampiri nakas yang berada disamping tempat tidurku.

Tak henti membuka setiap laci yang tersusun. Kini, sampai pada laci terakhir, tatapanku kian sudah dibuat terpaku, saat mendapati sebuah benda pipih yang terbungkus rapi oleh sampul cokelat.

Meski sempat terdapat keraguan yang terselubung. Namun, tak lepas membuatku memberanikan diri meraih benda yang bertuliskan "My Diary" itu.

Entah, sudah keberapa tahun lamanya, aku tak berbagi kisah di dalamnya. Bahkan, dengan kali terakhir aku menuliskan kisah cintaku di dalam diary itu, haruskah—haruskah saat ini ku tutup kisah itu dengan rangakaian pedih, Allah...

Dengan tubuh yang sudah bergetar hebat. Perlahan, ku gerakkan tanganku membuka diary itu. Hingga tepat saat lembar pertama terbuka, aku bisa merasakan tubuhku yang seakan berganti menegang.

Muhammad Izhar Haidar

Meski dengan netra yang buram, karena butiran bening yang mengganjal. Namun, aku bisa mendapati jelas ukiran nama itu terpampang begitu indah di lembar pertama. 

Ya, dia—lelaki yang selalu ku agung-agungkan, karena ketaatannya pada Allah. Juga lelaki yang telah memantapkan hatiku untuk menjadikannya sebagai ketetapan pelabuhan pertama dan terakhirku.

Tapi Allah... pantaskah aku mengharapkan itu kembali? Dan haruskah aku pertahankan cinta ini?

Tanpa aku sadari, butiran bening kian kembali luruh membasahi wajahku. Sungguh, rasanya aku benar-benar tak mempercayai hal ini, Allah. Bagaimana bisa, penantian panjangku justru berakhir terbayar dengan luka?

Dengan nafas yang memburu. Perlahan, ku hentakkan kaki ku melangkah mundur. Hingga sampai kaki ku menyentuh kaki ranjang. Entah mengapa, rasa pening kian tiba-tiba menyerang kepalaku. Dan—

Brukkk

Bersamaan dengan diary itu yang terhempas. Jantungku kian berpacu dua kali lipat dari biasanya. Bahkan, aliran darahku tak segan berhenti begitu saja.

Melihat origami pink yang sudah dibentuk hati itu tergeletak manis disamping diary. Sungguh, membuat sesak itu seperti menghimpit rongga hatiku, Allah.

Jika sebelumnya origami ini lah yang menjadi sumber kekuatanku disaat patah, haruskah—haruskah ini menjadi sumber kehancuran terbesarku, Allah?

Dengan tangan yang gemetar. Perlahan, ku ulurkan tanganku meraih origami itu. Hingga sampai berada di genggaman, netra cokelatku kini tak sengaja menangkap sebuah kalimat pada bagian belakang origami itu.

To: Kayla

Jika Allah meridhoi, kelak akulah yang akan menjadi lelaki pertama mengkhitbahmu.

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang