Dengan paduan warna gold dan silver. Bentuk hati itu kian terpancar indah dilengkapi tiga mutiara juga pernak-pernik lainnya.
Meski sesuatu yang diperlihatkannya tak lain sebuah bros. Namun, tak dapat membohongi jika rasa bahagia dan haru itu telah berbaur menjadi satu.
Tentu. Aku pun tak akan mempermasalahkan sesuatu yang diberikannya. Tapi—mendapati antusiasnya dalam mempersiapkan semuanya ditengah musibah besar menimpanya. Entah mengapa, seakan menjadikan rasa sesak itu menghimpit rongga hatiku.
"Ini sangat berlebihan, Mas."
Menggeleng pelan. Aku berusaha menyangkal keras pernyataannya. Lagi, sekalipun dalam pesta ini tak memakan banyak biaya. Tetap saja, rasa bersalah akan tak dapat berlaku sebagai istri kebanyakan benar adanya.
"Berarti kamu menyukainya?"
Benar. Rasanya terlalu munafik, jika aku memilih tidak membenarkannya. Bahkan, Allah... jika pun boleh mengakui. Sungguh, sepertinya ini akan menjadi kali pertama kebahagiaan itu kian kembali setelah dimana aku dihadapkan patah terbesarku.
"Aku pakaikan ya?"
Dan lagi. Seolah tak ada perlawanan yang dapat aku lakukan. Terlihat, tubuhnya kini dibuat bangkit dari kursi. Berganti menghampiriku, lantas menjatuhkan tubuhnya disamping kananku.
Menelan saliva kasar. Wajahku kian sudah dibuat merunduk. Bahkan, hawa panas dingin tak segan mendominasiku, saat pergerakan tangannya yang perlahan memutar kursi yang aku duduki. Berakhir menjadikan posisi kami sejajar.
Seakan menjadikan ketegangan tubuhku bertambah hebat. Setelah tangannya berhasil meraih bros tersebut. Lantas, meletakkan kotaknya di atas meja. Aku bisa merasakan, pergerakannya yang kian memasangkan bros tersebut pada jilbab segiempatku.
Tak dapat ditahan lagi. Benteng pertahananku pun kembali runtuh. Bahkan, meski yang dilakukannya tanpa persetujuan dariku. Namun, tak sedikit pun mengurangi kadar batasannya.
Dengan meletakkannya dibagian tengah, tiga centi menuju ujung. Cukup menjadikan rasa sesak itu bak semakin mengiris hatiku. Hingga tanpa aku sadari, netranya kini sudah dibuat menatap lekat mengarahku.
"Hey! Kenapa menangis?" ucapnya, tak lama, aku bisa merasakan tangan sigapnya yang perlahan menyeka air mataku.
Sungguh, Allah. Nyatanya aku memang begitu egois. Sedikit saja, ia tak pernah berlaku diluar batas tanggungjawabnya. Bahkan, tak segan menjadikanku ratu sesusungguhnya. Namun, bagaimana denganku? Apakah balasan yang dapat aku berikan padanya?
"Ma... maaf. Kay mohon maaf, Mas. Jika selama ini Kay tidak bisa menjadi istri terbaik versi, Mas."
Lagi. Meski pada nyatanya, aku memilih menjalaninya kembali bersama. Tak dapat memungkiri, jika keraguan akan cintanya selalu terbesit di hatiku. Terlebih, saat mengingat kedekatannya yang selama tiga tahun bersama dokter Nadia.
Namun, Davin—entah mengapa, untuk kesekian kali sikapnya justru seolah menyangkal keraguan itu.
Dengan tangan yang berganti menangkup di wajahku. Bahkan, sejauh apapun aku berusaha mencari kebenaran di dalamnya, hanya sebuah kedamaian lah yang aku dapatkan darinya.
"Kamu sudah melakukannya, Kay. Dengan memilih kembali menjalaninya bersamaku, itu sudah menjadi bukti bahwa kamu juga berusaha membuka hati untukku."
Berusaha menahan sesak yang menjalar. Semakin kuat, aku mengepalkan kedua tanganku.
Allah...
Apakah aku sanggup melukai hatinya kembali? Setelah dimana dengan apa yang dilakukannya selama ini?"Sampai kapan pun aku akan selalu berada disampingmu, Kay."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
General Fiction•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019