50-Titik Semu

17 2 1
                                        

"Zahra."

Meski terdengar seperti lirihan kecil. Namun, tak segan membuat tangisku kian berhenti. Berganti menatap sang empu.

Seakan bumi dibuat lamban dalam rotasinya. Bahkan, dengan hadirnya yang berada di ambang pintu, bukan lagi menyisakan ketegangan hebat pada tubuhku, melainkan lidahku yang bak begitu kelu.

"M... mas Davin?"

Menelan saliva kasar. Jantungku kian bergemuruh kencang.

Meski pertanyaan akan mengenai hadirnya yang sejak kapan tiba mencuat di otakku. Namun, tak lepas membuatku dengan cepat menyeka air mataku, lantas beranjak menghampirinya.

Sedikit memaksakan senyum. Dengan ragu, ku ulurkan tangan kananku, setelah dimana ku gunakan tangan kiriku menggenggam lembar kertas itu.

Namun, Davin—bukan lagi membalas uluran tanganku. Keterdiamannya justru menyelimutinya. Membuatku yang berusaha menetralisir irama jantung pun, meremas kuat surat itu.

"Sesuatu apa yang berada di tanganmu?"

Deggg

Seakan bukan lagi membuat deru nafasku dibuat berhenti. Entah mengapa, mendapati tatapannya yang kian menajam. Bak menjadikan hawa panas kian mendominasi.

"I... ini hanya kertas yang tak terpakai, Mas. Zahra lupa untuk membuangnya."

Belum sampai bibirku sempurna melengkung, berusaha meyakinkannya. Kini, tubuhku berakhir sudah dibuat tersentak, saat pergerakannya yang tiba-tiba mengambil alih surat tersebut dalam genggamanku begitu saja.

Membulatkan kedua mata tak percaya. Semakin kuat, aku mengepalkan kedua tanganku. Bahkan, seiiring pandangannya yang mulai mengedar pada rentetan kalimat tertera, bak menciptakan ketegangan hebat menghantamku.

Allah... apakah kisah ini akan berakhir di detik ini?

Dengan menggigit bibir. Tak henti, hatiku kian merapalkan do'a-do'a. Hingga sampai dengan pandangannya berganti menatapku. Tak membohongi, membuat ketakutan itu seakan mendominasiku.

"Z... Zahra bisa menjelaskan semuanya, Mas."

"Aku tak menyangka, ternyata selama ini kamu hanya menjadikanku sebatas pelarian."

Menggeleng cepat. Aku memilih menyangkal keras pernyataannya. Tidak, Allah! Bahkan, sekalipun dalam hal ini aku menerimanya diatas kecewaku yang mendalam atas sosok Izhar. Tak sedikit pun, aku berniat menjadikannya pelarian yang ada, selain memenuhi atas jawaban istikharah ku.

"I... itu tidak benar adanya, Mas."

"LANTAS APA? LANTAS APA?"

"KAMU PIKIR AKU PRIA YANG BODOH? SELAMA INI DENGAN AKU YANG MEMILIH DIAM, BUKAN BERARTI AKU TAK MENGETAHUI SEMUANYA. PERIHAL DIARY MU, PERTEMUANMU, DAN SURAT INI—"

Deggg

Seakan menjadikan sesak itu kian menjalar cepat. Bahkan, dengan butiran bening yang semula mengganjal. Tak segan, kian berakhir luruh, seiiring tangannya yang melempar kasar lembar kertas itu.

Bahkan, Allah... Sempat ku pikir dengan memilih menutup kisah ini darinya, jauh tak membuat keadaan semakin runyam. Tapi, kini—

"I... itu semua tidak dibenarkan, Mas. Zahra bisa menjelaskan semuanya."

"Menjelaskan semuanya? Bukankah ini sudah nampak jelas. Kamu hanya menjadikanku sebagai pelarian atas rasa kecewamu dan kamu menginginkan Izhar menjadi bagian dari hidupmu?"

Jlebb

Meski sedikit dibuat tertegun mendapati pernyataannya. Namun, tak lepas membuatku setelahnya menggerakkan kaki ku, menghampirinya yang jua tengah meraih koper di atas lemari kayu.

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang