Setelah perdebatan panjang, karena aku yang tak ingin memenuhi isi perutku. Kini, alhasil aku lebih memilih menyerah, menuruti keinginannya.
Sementara Davin, tak perlu ditanya. Meski wajahku sudah merunduk, aku begitu yakin jika ia sudah tersenyum puas.
"Kay."
"Kayla."
Memilih tak mengubrisnya, aku masih bertahan dengan posisiku. Biarkan saja! Biarkan rasa bersalah itu menyelimutinya. Toh, ini memang tak sesuai kesepakatan yang ada.
Saat di perjalanan, Davin hanya memintaku untuk menemaninya mengisi rasa laparnya. Namun, hal itu justru berbanding terbalik setelah kami tiba di tempat.
Meski beribu penolakan telah aku kerahkan, dengan alibi perutku yang masih kenyang. Namun, Davin—sepertinya ia sudah lebih dulu menyadari akan kebohonganku.
Sikapnya yang juga tak ingin mengalah, diiringi dalih tak ingin aku jatuh sakit. Membuatku berakhir mau tak mau menerima tawarannya.
"Sayang."
Seakan mampu meredam api amarah yang ada. Dengan berhenti memainkan jari-jemari di bawah meja, aku bisa merasakan desiran hebat itu merayap begitu cepat di tubuhku.
Tak berhenti sampai itu. Kini, hawa panas dinginku sudah jua membaur menjadi satu, saat sesuatu hangat kian menyentuh bagian daguku.
Tangan kekarnya yang seolah menuntun wajahku agar lebih sejajar dengannya, membuat debaran jantungku bak bertambah abnormal.
Bahkan, dengan jarak wajah yang tak sampai sepuluh centi, netra cokelatku sudah berhasil dibuat terkunci olehnya.
"Marah sama aku?"
Dengan tubuh yang menegang, rasanya bukan lagi membuat nafasku seperti tak beraturan, melainkan tenggorokanku bak ikut dibuat tercekat.
Hembusan nafas hangatnya yang berbaur khas parfum tubuhnya, benar-benar menjadikan seluruh akses tubuhku terkunci rapat.
"Hmm?"
Semakin kuat, aku terus mengepalkan kedua tanganku. Suara beratnya yang diiringi tatapan mendalam, lagi-lagi membuat kinerja otakku seakan dibuat berhenti.
Bahkan, meski tangan kananya beralih sudah menyentuh pipiku, aku bisa memastikan wajahku telah menyamai kepiting rebus.
"Kayla."
Seakan mampu menarikku keluar dari alam bawah sadar. Dengan menggeleng pelan, aku berusaha menahan detak jantungku yang bak rasanya ingin membeludak.
Tidak. Lebih tepatnya bukan lagi desiran hebat itu yang aku rasakan, melainkan rasa malu yang tak dapat lagi tertahan.
Bagaimana tidak, semua pasang mata kini sudah menjurus mengarah kami, seolah kami memang lah bahan tontonan dalam sebuah pertunjukan.
Tak hanya itu, aku pun bisa mendengar beberapa bisikan yang kurang tak mengenakkan dari mereka. Membuatku lantas memberanikan diri menyentuh tangannya yang masih bersandar di pipiku.
"Malu, Mas."
Sembari menggigit bibir, perlahan aku mulai menurunkan tangannya. Namun Davin, sepertinya ia masih tak mengerti perkataanku. Tangan kekarnya justru berganti menggenggam erat kedua tanganku.
"Sudah sah. Tidak masalah, bukan?"
Layaknya desiran itu kembali mengguncang tubuhku. Dengan berusaha menahan gugup, aku memilih merundukkan wajahku.
Bukan. Bukan masalah sah atau tidaknya, hanya saja mengumbar kemesraan di tempat umum itu sama sekali bukan tipeku.
Terlebih, jika salah satu dari mereka masih ada yang melajang, aku semakin tak ingin list dosaku justru dibuat bertambah nantinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
General Fiction•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019