Roda kehidupan kian berlalu begitu cepat. Begitu pun denganku, yang tak menyangka, terhitung sudah satu minggu lamanya Hafza berada di tangan asuhku.
Meski sebelumnya sempat terjadi kontra dengan dokter Nadia. Namun, dengan Davin yang angkat bicara, mengizinkanku. Menjadikan Izhar pun berakhir mempercayakan Hafza padaku.
Sementara perihal Davin—tak dapat memungkiri, setelah tragedi itu terjadi, sikap tak kalah dinginnya justru masih diperlihatkannya.
Menarik nafas pelan. Tak henti, aku pun kembali mengayunkan pelan tubuh mungil Hafza. Dengan sesekali jua, melantunkan shalawat nabi untuknya.
Seusai terbangun dari tidurnya. Aku pun memang tak dibuat mengerti akan perilaku Hafza yang tak seperti biasanya. Bahkan, meski denganku yang mencoba membujuknya, memberikan sufor padanya. Namun, Hafza justru memilih menolaknya, dengan menaikkan volume tangisnya.
"Hafza merindukan Abi, ya?" ucapku, sembari tak henti mengayunkan tubuhnya.
Sebenarnya sedari lusa lalu, Izhar memang sudah dipulangkan ke rumah. Namun, karena kondisinya yang masih berada pada tahap pemulihan. Membuatnya menjadi tak memungkinkan, jika harus mengurus Hafza.
"Setelah kondisi Abi membaik, Hafza pasti akan bertemu Abi, sayang."
Lagi. Bukannya berhenti, tangis Hafza justru kembali pecah. Membuatku yang tanpa berpikir panjang pun, memilih beranjak dari kamar.
Sementara bersamaan dengan menuruni anak tangga. Tak henti, bibirku bergerak, melantunkan shalawat nabi. Hingga tiba pada langkahku yang menuju daun pintu utama, tangisnya pun mulai mereda. Tunggu. Mungkin kah Hafza tengah dilanda bosan yang ada?
Tak ingin menunggu lama. Ku gerakkan kaki ku menuju halaman rumah. Dan benar saja, tangisnya kini sempurna berhenti. Membuatku yang hanya bisa merutuki kebodohan pun, terkekeh geli.
"Hafza sudah mulai bosan ya berada di rumah?" ucapku, membuat netra bulatnya tak henti berputar dengan mulut yang ikut jua terbuka. Sepertinya, Hafza pun ingin berusaha mengutarakan sesuatu.
"Setelah cuaca membaik, Aunty janji akan kembali membawa Hafza menghirup udara yang jauh lebih segar."
Jika sebelumnya, aku seringkali membawa Hafza walau sekedar berkeliling rumah atau menuju taman terdekat. Namun, karena mengingat tiga hari ini kelabu membentang di langit. Membuatku memilih untuk berada selalu di dalam rumah.
Sementara Hafza, yang sepertinya memahami akan perkataanku. Terlihat, senyum simpul terpatri di bibirnya. Membuatku yang tak mampu menahan gemas pun, tak segan mendaratkan kecupan hangat di keningnya.
Benar. Jika saja Mbak Aisyah tidak lebih dulu berpulang ke pangkuan-Nya. Mungkin, ia akan jauh lebih bahagia melihat putri kecilnya tumbuh dengan kepintaran sepertinya.
Menyadari sesuatu hangat kian menjalar di telapak tanganku. Membuatku lantas, berakhir sedikit mengangkatnya.
Dan lagi. Tanpa berdosanya telah membasahiku dengan air kencingnya, Hafza justru memperlihatkan senyumnya. Membuatku yang setelahnya ikut jua tersenyum, memilih beranjak memasuki rumah.
"Kita ganti dulu ya, sayang."
Karena mengingat air kencing Hafza bukan hanya mengenai tanganku saja, melainkan gamis yang dikenakanku jua. Kini, seusai mengganti semua yang dipakainya, aku pun memilih bergegas mendekati lemari kayu ku. Hingga setelah meraih set gamis, ku gerakkan kaki ku menghampirinya yang sebelumnya ku baringkan di atas kasur king size.
"Aunty ingin mengganti gamis dulu, sayang. Hafza tetap disini ya?"
Sedikit melengkungkan sudut bibir, ku gerakkan tanganku mengusap pipinya pelan. Entah mengapa, melihat keterdiaman Hafza, yang seolah nampak tak keberatan itu. Membuat kekehan geli kian tak segan tercipta di bibirku.
![](https://img.wattpad.com/cover/242731601-288-k374826.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
General Fiction•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019