06-Antara Tasbih dan Janji

63 14 0
                                    

"ALLAHURABBI."

Braakkkk

Meski tepukan di bahuku tak begitu kencang. Namun, karena keterkejutan yang ada, sontak menjadikan tanganku refleks menjatuhkan ponsel yang semula berada dalam genggamanku.

Sementara ditengah aku yang berusaha menetralisir detak jantungku, wanita itu kian sudah menjatuhkan tubuhnya dihadapanku.

"Untung saja ponselmu masih dapat aku benahi."

Ya. Siapa lagi yang melakukannya, jika bukan Hasnaya Rifatunnisa.

Sedikit menjatuhkan pandangan. Terlihat, dengan sigapnya jari-jemari Hasna merangkai ponselku yang rupanya sudah terpisah dari baterai. Membuatku yang menghela nafas kasar, beralih menatap kembali bangunan megah itu.

Bukan lagi membuat netraku kian memanas. Bahkan, saat bayang peristiwa dua menit yang lalu kembali berkelibatan di otakku. Aku bisa merasakan, sesak itu bak menjalar di dadaku.

"Sudah," ucapnya, namun tak lepas membuatku mengalihkan pandangan dari bangunan megah itu. Hingga tanpa aku sadari, tubuhnya yang semula berjongkok, kini sudah bangkit—menatapku heran.

Benarkah itu terjadi, Allah?

Benarkah yang akan ku saksikan ini pernikahan Izhar?

Dan benarkah hari ini akan menjadi patah terbesar dalam sejarah hidupku?

Ah tidak! Bisa pula kan pernikahan ini digelar untuk dua orang pengantin?

"Kayla."

Oh Allah begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal di otakku. Allah... apa yang harus aku lakukan?

"Kayla Zahira Farasya."

Menyadari suara dan sentuhan halus dibahuku, sontak membuat lamunanku kian membuyar begitu saja.

Tangan kanannya yang menyodorkan sebuah benda pipih sembari dahi berkerut. Membuatku yang lantas memahami maksudnya, perlahan meraih benda pipih itu. Hingga sempurna berada dalam genggamanku, tatapan menyelidik itu tak segan diperlihatkannya.

"Ada apa? Wajahmu terlihat pucat, Kay. Kau tengah sakit?"

Sedikit melengkungkan senyum miris. Bahkan, untuk sekedar mengatakannya  jika aku baik-baik saja. Entah mengapa, rasanya aku begitu malu, Allah.

Rasa sakit pada tubuhku mungkin dapat aku menyembunyikannya. Namun, dengan rasa sakit pada hatiku—sungguh, aku tak mampu menyembunyikannya lagi, Allah.

Dan haruskah. Haruskah aku berbagi kisah pedihku padanya?

"Kayla. Are you okay?"

"Apa aku boleh mengajukan satu pertanyaan padamu?" ucapku begitu bertolak belakang dengan pertanyaanya. Bukannya apa. Hanya saja, dengan Hasna sendiri mungkin bisa sedikit membantu mengurangi gelisahku.

Namun, berbeda dengan sang empu.
Terlihat, ia justru berakhir termenung—seolah terheran dengan balasan yang aku lontarkan.

Satu Detik.

Dua Detik.

Kini, dahinya sedikit mulai berkerut. Seakan menjadi pertanda, bahwa ia tengah dirundung penasaran. Sementara ditengah dugaanku benar adanya, bibir mungilnya kian kembali terangkat.

"Perihal?"

"Perihal..."

Belum sampai aku membalasnya, kalimatku justru dibuatnya terpotong begitu saja. Membuat helaan nafas kasar kini tanpa sadar keluar dari mulutku.

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang