22-Menghilang, Lebih Baik

26 6 0
                                    

Davin Pov

Dengan pandangan lurus mengarah jalanan, sesekali aku menggerakkan netra cokelatku menatapnya.

Wajahnya yang tetap merunduk dengan bibir yang merapat. Membuat senyum kecil tanpa sadar kini terukir di bibirku.

Meski keinginan untuk menghabiskan waktu bersamanya kembali tertunda. Setidaknya, melalui tragedi tersebut cukup sudah menjadi bukti bahwa itu memanglah benar dirinya.

Sebenarnya aku sendiri pun masih tak begitu menyangka akan peristiwa itu terjadi. Bahkan, saat kali pertama melihat lelaki asing itu mendekatinya, aku jauh memilih diam tak bertindak.

Bukan. Bukan berarti keraguan atas cintaku masih terbesit untuknya. Hanya saja, aku ingin lebih memastikan, apakah benar dialah wanita yang selalu ku selipkan namanya dalam bait do'aku?

Dengan menghembuskan nafas kasar, aku terus memijit keningku yang mulai terasa pening. Tidak. Bukankah semua bukti yang aku miliki sudah cukup? Lantas, apa yang perlu aku khawatirkan?

Seharusnya aku memang tidak lebih bersikap demikian padanya dan seharusnya aku pun bisa bertindak cepat, tapi—

Cittt

Kembali menghembuskan nafas kasar. Kini, dengan laju mobilku yang sudah terhenti, karena rambu lalu lintas yang tiba-tiba berwarna merah, kedua tanganku sudah dibuat bertumpu pada bagian setir.

Benar. Rasanya terlalu naif jika kekhawatiran itu tak lagi ada di hatiku. Terlebih, saat status kami berganti menjadi teman.

Meski peluang mendekatinya lebih mudah. Tetap saja, rasa takut akan kenyataan dirinya yang tak mampu menjalankan peran ini, benar-benar tak bisa aku bohongi. Lagi, jika aku mengetahui pelabuhan hatinya telah lebih dulu disinggahi perahu lain.

Mungkin ini terdengar berlebihan. Tapi nyatanya, hal itu memanglah benar adanya. Dan Davin, ayolah... dirimu harus bisa berpositive thinking. Kayla sudah menjadi milikmu seutuhnya. Jangan biarkan siapapun mendekatinya.

Menyadari lampu hijau berpendar sudah. Dengan cepat, aku kembali melajukan mobilku.

Meski suara bising jalanan kota kali ini lebih memekakan telinga. Entah mengapa, rasanya akan jauh terdengar aneh jika aku menyiakan kesempatan berkomunikasi dengannya.

Sejenak, ku gerakkan netra cokelatku menatap benda yang melingkar pada pergelangan tangan kiriku. Lima belas menit—sepertinya itu sudah sangat cukup membiarkan keheningan melanda diantara kami. Hingga dengan sedikit menarik nafas, perlahan ku gerakkan bibirku.

"Kay."

Tak sedikit pun mendapat responnya. Kini, ku beranikan kembali menyebut namanya.

"Kayla."

Masih dengan tatapan fokus mengarah depan, bahkan aku masih tak mendapati tanda dirinya yang akan membalas perkataanku. Membuatku pun lantas memilih berganti menatapnya.

Tak dapat ditahan. Kini, seulas senyum berakhir menghiasi bibirku. Matanya yang tertutup sempurna dengan kepala yang dibiarkan bersandar, benar-benar semakin membuatku tak mengerti. Apakah benar ia akan menjalankan peran ini? Menjadikanku teman?

Menggeleng pelan, aku berusaha menepis harapan yang kian membumbung tinggi. Benar. Rasanya aku tak ingin saja, jika berakhir dijatuhkan oleh ekspetasiku sendiri.

"Kayla."

"Say—"

Belum sampai kalimat itu sempurna meluncur di bibirku. Kini, dengan serangan kepalanya yang mendarat tiba-tiba di bahuku, menjadikanku lebih dulu dibuat bungkam. Bahkan, irama jantungku tak segan jua memompa lebih cepat dari biasanya.

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang