Davin Pov
Dengan kedua mata yang dibiarkan terpejam. Tak henti, ku gerakkan tanganku memijit kening yang kian terasa pening.
Entah mengapa. Rasanya, kali ini tubuhku seperti dibuat letih dua kali lipat.
Mungkin benar. Jika ini tak lain karena aku yang tak menjaga pola asupanku dengan baik. Karena mengingat, semenjak peristiwa itu, nafsu makan ku kian menurun.
Sebenarnya aku pun tak bisa memungkiri, jika ia seringkali membujukku. Namun, karena bayang perlakuannya lebih dulu berkelibatan. Menjadikan selera itu bak dibuat menghilang.
Lagi. Disaat aku berharap dengan memilih mengulurkan keberangkatanku, kejujuran akan terucap di bibirnya. Nyatanya, hanya sebuah semu yang aku dapatkan. Membuatku kini semakin menyadari, bahwa cinta yang sebenarnya memang bukan diperuntukkan untukku.
Tok Tokk Tokkk
"Masuk."
Memilih tak mempedulikan siapa sosoknya. Mataku kian masih dibiarkan terpejam. Tak lupa, dengan gerak tangan yang tak lepas memijit kening.
"Mas."
Menyadari suara itu tak asing bagiku. Kini, bukan lagi menjadikan gerak tanganku berhenti, melainkan netraku yang sudah terbuka. Hingga tepat, saat tatapanku mendapati kain navy yang menjulur juga paper bag dalam genggamannya. Tak segan, ku pun menggerakkan netraku.
Dan benar saja. Itu tak lain adalah sosoknya. Membuat tatapanku yang sejenak dibuat beradu. Kini, memilih beralih pada berkas, yang bersamaan tanganku meraihnya.
"Zahra kemari membawakan menu kesukaan, Mas."
Menarik nafas pelan. Bahkan, aku memang sudah dibuat menduga, jika dirinya memang tak lagi menyerah.
Tentu. Aku begitu ingat, dengan keinginanku yang sempat memintanya membuat menu kesukaanku. Namun, untuk kali ini—entah mengapa, jangankan melahapnya, menyentuhnya saja aku begitu enggan. Hingga tanpa beralih pandangan. Perlahan, ku gerakkan bibirku.
"Letakkan saja di atas meja."
"Tapi, Mas... sedari pagi perut Mas belum mendapat asupan apapun."
Jika sebelumnya bahagia itu selalu terbesit dihatiku, walau sekedar dengan perhatian kecil seperti ini darinya. Tak memungkiri, untuk saat ini hanya terdapat luapan amarah yang ada.
Sungguh, rasanya aku benar-benar dibuat tak mengerti dengan sikapnya. Apa yang sebenarnya dirinya inginkan?
Bahkan, jika pun benar cinta itu tak pernah diperuntukkan untukku. Lantas, mengapa seolah peduli itu selalu diperlihatkannya?
Semakin mencengkram erat map tersebut, netraku kian sudah beralih menatapnya. Sebenarnya aku pun tak ingin bersikap demikian padanya. Namun, mendapati sikapnya yang sepertinya jauh tak akin pernah menyadari hal itu, rasanya hanya akan menyisakan luka, jika aku membiarkan kebohongan itu berada dalam dirinya.
"Perlu berapa kali aku harus menjawab pertanyaanmu, Zahra."
"Maaf."
"Zahra mohoh maaf, Mas. Zahra mengakui, Zahra bersalah. Karena tak menepati janji, Zahra."
Menggeleng pelan. Aku sudah dibuat menduga, jika kalimat itu akan terucap di bibirnya. Apakah begitu sulit untuk sekedar mengungkapkan kejujuran yang ada?
Menyadari kakinya melangkah mendekat. Dengan cepat, aku pun memalingkan wajahku.
Entah mengapa, semakin dibuat menatap lama wajah itu, rasanya hanya akan menuangkan kebencian yang ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
General Fiction•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019