Davin Pov
Dengan pandangan menyapu kanan kiri, tak henti tanganku membuka lembar demi lembarnya. Hingga tiba pada dua lembar menuju akhir, sebuah ketukan berhasil membuyarkan tingkat fokus ku.
Tok Tokk Tokkk
Menghembuskan nafas kasar. Kini, dengan tanpa mengalihkan pandangan, ku gerakkan bibirku.
"Masuk."
Meski aku berusaha untuk tetap menjaga fokus ku. Namun nyatanya, kehadiran pemilik kain hitam yang menjuntai dihadapanku lebih dulu menggantikan objek semula. Hingga dengan netra cokelat yang berubah menyipit, dahiku sudah ikut dibuat berkerut menatapnya.
"Kayla?"
Beribu pertanyaan kian memenuhi kepalaku. Pasalnya, selain aku tak pernah memintanya untuk datang, aku pun tak pernah memberitahukannya perihal dimana jelasnya tempatku menggeluti profesiku.
Mungkin ini terdengar aneh bagi kebanyakan. Tapi, memang itulah faktanya. Bahkan, Kayla sendiri lebih daripada memilih enggan mengetahui seputar hidupku. Jangankan berharap hal itu, aku mencoba mendekatinya saja, dirinya selalu menghindar.
Namun, seakan dirinya pun mengetahui akan kebimbanganku. Terlihat, bibirnya berusaha bergerak. Seolah menjadi tanda bahwa sesuatu telah menimpanya.
"Kay kemari... hanya ingin mengantarkan makan siang untuk Mas Davin."
Memilih diam tak mengubrisnya. Kini, netra cokelatku sudah berganti menatap paper bag dalam genggaman tangan kanannya.
Meski aku tak mengetahui alasan lain kedatangannya, mudah untukku memprediksinya. Apalagi, jika bukan karena Mama yang meminta.
"Ma... maaf, jika kedatangan Kay telah mengganggu."
Menggeleng pelan. Bibirku sudah ikut dibuat tersenyum simpul. Jika semula hanya ada rasa letih yang ada. Entah mengapa, saat ini rasanya aku begitu tak mampu menahan tawa.
Lihat saja! Karena kegugupannya, justru berefek pada paper bag yang digenggamnya tiada henti bergoyang. Ah! Mengapa begitu menggemaskan sekali?
Menarik nafas sejenak, sebisa mungkin aku menampilkan raut datar ku. Setelah mendapati wajahnya yang merunduk, rasanya membuat ide jahil itu kian merasuk otakku.
"Hmm. Lalu, apakah masih ingin membiarkan makanan itu berubah semakin dingin, hingga berakhir membuatku urung menikmatinya?"
"Kemari, Kay. Duduk lah."
Berusaha menahan tawa. Terlihat, wajah terkejutnya nampak sudah terangkat. Sebenarnya aku pun tak begitu tega berlaku demikian padanya. Namun, karena mengingat kesempatan tak akan datang untuk kedua kalinya, membuatku tentu tak akan menyiakannya begitu saja.
Dengan pandangan yang masih tak lepas darinya. Perlahan, kakinya terlihat mulai melangkah. Tentunya dengan getaran yang tak kalah hebat. Membuatku semakin berpikir, apakah wajahku se-menyeramkan monster?
"I... ini, Mas."
Menyadari posisinya yang sudah berada dihadapanku sembari tangan kanan yang terulur memberikan paper bag. Membuatku pun lantas dengan cepat meraihnya.
"Duduk, Kay!"
"Tapi—"
"Aku mohon."
Berakhir tersenyum puas, setelah membuatnya menuruti keinginanku. Kini, ku gerakkan tanganku menggeser sedikit tumpukan berkas yang sempat membuat pening otakku. Hingga setelahnya, ku ulurkan tanganku meraih isi dalam paper bag tersebut.
Karena terdapat dua kotak makan yang berbeda, aku pun memutuskan untuk membuka salah satunya.
Di mulai dari kotak yang warna hijau, tanganku sudah bersiap membukanya. Namun, baru saja menyentuh ujungnya, sebuah suara lebih dulu merambat di telingaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
Fiksi Umum•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019