13-Imam Pilihan

51 12 0
                                        

Suasana kian bertambah menegang. Bahkan, keringat dingin tak segan membanjiri tubuhku. Pasalnya, kini bukan hanya aku yang dipinta Davin untuk menemuinya. Tapi Ayah, Ibu, Bang Rafka dan kedua orangtuanya pun sudah ikut jua memutari brangkarnya.

Dengan menggit bibir, sebisa mungkin aku merapalkan do'a kepada Sang Rabb. Mengingat pembicaraan dengan Bang Rafka sebelumnya, akan terdapat sesuatu penting yang Davin bahas. Tak memungkiri, membuat gusar itu menyelimutiku.

Tentang perjodohan kah? Entahlah, aku pun tak mengetahuinya.

"Kayla."

Meski terdengar lirih. Namun, dengan suara itu yang berhasil membelah kesunyian. Cukup menciptakan detakan jantungku kian memompa lebih cepat.

Perlahan, wajahku dibuat terangkat menatapnya. Namun, belum sampai pada netra cokelatnya, seulas senyum di bibirnya berhasil membuat tubuhku bak lebih dulu menegang.

Tak ingin semakin dibuat terbuai nantinya. Dengan cepat, aku kembali merundukkan wajahku. Begitu pula dengan Davin, yang nampak tatapannya berganti sudah menatap langit-langit ruangan.

"Sebelumnya aku tak menyangka, jika kita akan di pertemukan kembali dengan cara seperti ini."

Diam.

Dengan meremas kuat gamisku. Aku berusaha menahan rasa sesak yang kian menghantam dada. Bahkan, Allah... apakah Davin juga menyalahkanku atas musibah ini?

"Aku tahu mungkin ini akan terdengar egois olehmu, Kay."

Semakin tak mengerti arah pembicaraanya. Kini, dengan ragu ku beranikan diri menatap sedikit wajahnya.

Tertangkap!

Kini, bersamaan Davin yang berhasil mengunci netra cokelatku sesaat. Membuatku hanya bisa menelan saliva  kasar.

"Karena pada kenyataannya aku memang bukanlah Ali, yang pandai menjaga rasa disaat cinta itu bergejolak semakin nyata."

Deggg

Seperti ditimpa ribuan atom. Bukan hanya membuat aliran darahku bak berhenti bekerja. Bahkan, netra cokelatku kini sudah berganti memanas, kala mendapati ujung tatapan itu berhasil meloloskan air mata.

Ya. Aku sudah menduga, jika pada akhirnya Davin pun akan menerima perjodohan ini. Tapi, tunggu— apa yang dikatakannya? Kalimatnya yang secara tak langsung merujuk pada isi hatinya, entah mengapa rasanya membuat hatiku perih, Allah.

"Dan... dengan dua keluarga yang menjadi saksi, aku ingin kau mengutarakan janjimu yang sempat tertunda."

Dengan butiran bening yang bersiap luruh. Wajahku kian sudah merunduk, bersamaan dengan satu kali tarikan nafas yang diambilnya.

"Tentang perjodohan kita."

Meski terdengar pelan. Namun, kalimat tersebut berhasil membuat tubuhku menegang. Bahkan, tak segan membuat benteng pertahananku runtuh.

Bukan. Bukan suatu kebahagiaan yang saat ini aku rasakan, seperti saat wanita lain yang mendapatkan ungkapan cinta dari seorang pria. Tapi, rasa sesak itu kian justru semakin menghimpit rongga hatiku.

Aku yang semula berharap, setelah peristiwa ini Davin mengakhiri perjodohan tersebut. Nyatanya, itu semua justru berbanding terbalik dengan ekspektasiku.

"In syaa Allah apapun keputusanmu, aku ikhlas menerimanya."

Seakan menjadikan deru nafasku dibuat berhenti. Kini, aku bisa merasakan pening itu bak menggelayuti.

Meski sebelumnya aku telah memantapkan jawaban atas istikharahku. Namun, tetap saja Allah... rasanya aku tidak benar-benar siap jika masa itu tiba.

Bagaimana. Bagaimana jika aku tak mampu melakukannya?

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang