Dengan tangan lemah, ia mulai meraih lip ice yang berdiri diantara dirinya dan cermin. Lantas, dengan gerak hati-hati, ia pun memoleskannya pada bibirnya yang tipis. Hingga setelah menyelesaikan aktivitasnya. Kini, netranya sudah menatap lamat pantulan wajahnya yang sayu dan sedikit sembab.
Entah, sudah keberapa ribu kali perahu cintanya dibuat terombang-ambing seperti ini. Bahkan, disaat hatinya telah memantapkannya pada salah seorang lelaki, justru dengan baiknya Allah memberikan lelaki itu kepada wanita lain.
Tanpa disadari, air matanya kini kembali luruh membasahi wajahnya. Bukan. Bukan berarti ia menangisi takdir yang diberikan Sang Rabb. Hanya saja, dianggap seperti wanita bodoh jauh lebih daripada menyakitkan.
Drrttt Drrrrtttt
Menyadari suara getaran itu. Dengan cepat, ku gerakkan tanganku menyeka air mata. Lantas, setelah meletakkan kembali asal lip ice yang sempat ku pakai tadi pada tempat semula, netraku kian berubah menelisik mengarah kanan sudut meja. Ah tidak! Lebih tepatnya pada benda pipih yang tergeletak manis di sudutnya.
Sementara di tengah tombol hijau yang tiada henti bergerak. Terlihat, nama itu kian terpampang jelas di bagian atas layar.
Hasnaya Btq
Meski sejenak dahiku dibuat berkerut menatapnya. Namun, dengan otakku yang kembali menarik ingatanku pada peristiwa semalam, yang dimana terdapat sebuah janji yang memang harus aku tunaikan sekarang. Membuatku dengan cepat meraih benda pipih itu. Lantas setelahnya, ku gerakkan ibu jariku mengusap tombol hijau itu.
Dan—ya. Hanya selang beberapa detik, aku bisa menangkap jelas suara sang empu yang sepertinya tengah menahan kesal. Mungkin penyebabnya tak lain karena aku. Yang terlalu lama menjawab panggilannya.
"Hallo. Assalamu'alaikum Kay. Aku sudah sampai di tempat, bagaimana dengan kau? Kau tidak melupakan janji hari ini, bukan?"
Seperti biasa, sifat buruk dulunya masih saja mengikutinya hingga sekarang. Berbicara tanpa jeda misalnya.
Sebenarnya aku ingin sekali menegurnya. Hanya saja, dengan kalimatnya yang terakhir. Entah mengapa, seakan bukan lagi mengingatkanku pada tragedi pahit itu, melainkan hatiku yang lebih dulu dibuat patah.
Perihal janji...
Bukan hanya sekali, melainkan puluhan kali, tapi Allah... apa yang aku dapatkan? Sebuah bahagiakah? Tidak! Yang ada hanya rasa pedih dan kecewa.
Dan sekarang. Haruskah, haruskah aku kembali mempercayai janji itu, Allah? Setelah sang janji justru semakin menabur ratakan luka di hatiku.
"Kay."
"Ah i... iya wa'alaikumussalam, Na. In syaa Allah lima belas menit lagi aku akan tiba."
Setelah peristiwa semalam. Entah mengapa, membuatku rasanya enggan melakukan aktivitas apapun. Bahkan, jika saja tak ada paksaan darinya, dengan dalih ingin melepas rindu. Aku jua begitu enggan menemaninya menghadiri pernikahan sang teman. Toh, aku saja tidak mengenal pihak keluarga sang hajat.
Sementara kembali berbicara perihal pernikahan, secara tak langsung membuatku semakin teringat akan sosoknya. Yang dimana pernikahannya jua sama-sama digelar hari ini.
Sungguh, untuk sekedar membayangkan dimana Izhar mengucapkan akad bukan diperuntukkan untukku saja, entah mengapa, rasanya begitu perih, Allah.
Aku yang selalu membayangkan kisah cintaku nantinya akan seindah kisah cinta Sayyidina Ali dan Fatimah (yang mencintai dalam diam, lantas dipersatukan hingga ikatan halal). Nyatanya harus ku kubur dalam-dalam, saat harapan yang ku lambungkan sendiri sejak lama justru berakhir sebuah luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
Художественная проза•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019