08-Kenyataan Pahit

67 13 0
                                    

Brukkk

Seperti dibuat tersungkur jatuh akan kenyataan pahit. Bibirku tiada henti meringis, mendapati goresan luka pada telapak tanganku. Benar. Rasanya kini bukan hanya perihal hati yang tersakiti, melainkan ragaku.

Seakan ingatanku ditarik mudur pada peristiwa beberapa detik yang lalu. Kembali, aku merutuki kebodohanku. Menjadikan luka sebagai teman disaat diri berduka. Namun, bukankah itu jauh lebih baik? Daripada mempercayai janji manisnya, yang justru malah berakhir duka?

Dengan butiran bening yang luruh. Perlahan, aku mengepalkan tangan kananku. Warna merah berpadu goresan itu—sungguh Allah, aku begitu membenci takdir ini.

"Kayla?"

Semakin kuat, aku mengepalkan tangan kananku. Berusaha menahan desiran hebat yang kembali menyerang dada.

Meski suara itu beradu dengan rintik hujan. Namun, aku bisa menangkap jelas bagaimana kalimat itu merambat di telingaku. Hingga tanpa aku sadari, kini tangan kiriku sudah ikut jua mengepal kuat.

Tak peduli dengan rasa sakitnya yang bertambah menjalar. Berulangkali mataku dibuat mengerjap. Meski sedikit terlihat samar, karena butiran bening itu jua ikut menghalangi pandanganku. Namun, aku bisa mendapati jelas  wajahnya yang berlindung di bawah payung hitam yang digenggamnya.

Seakan menjadi tirai yang memperlihatkan slide demi slide peristiwa bersejarah itu. Aku bisa merasakan hembusan angin yang menerpa kian berubah kencang. Menghantam dada. Menyisakan rasa perih pada hati yang pernah dibuatnya patah.

Demi Allah, aku merasa tercurangi akan hal ini, Allah. Bahkan, disaat cinta tidak lebih dari kata dusta, lantas untuk apa jika aku mempercayai cinta itu ada?

Dengan butiran bening yang kembali luruh, semakin kuat aku mengepalkan kedua tanganku.  Berusaha menolak guncangan hebat yang menyerang tubuhku.

Hingga tak sedikit pun aku mempedulikan panggilannya. Dengan sisa tenaga yang aku miliki, tubuhku terus dibiarkan memberontak. Lantas, kembali dibuat melangkah. Melangkah dengan sejuta hati yang patah.

Namun, berbeda dengan pria tersebut. Yang terlihat dengan netra hampa menatap punggung wanita itu, ribuan pertanyaan mulai menggelayuti pikirannya.

Sejenak, ia menghembuskan nafasnya  kasar. Mendapati langit yang semakin kelabu juga diiringi petir yang menggelegar, terbesit di hatinya ingin mengejar wanita yang dicintainya. Namun, lagi-lagi otaknya kembali dibuat menyangkalnya.

Hingga setelah dimana hati dan otaknya dibiarkannya bergulat. Ia pun memilih untuk meluruskan niat awalnya.

Perlahan, kakinya hendak dibuat melangkah. Namun, seketika diurungkannya kembali, saat netranya tak sengaja menangkap sebuah benda yang tergeletak diujung sepatu hitam kirinya. 

Meski sempat terdapat keraguan yang terselubung. Namun, tak lepas membuat tangan kekarnya terulur meraih benda tersebut.

Sebuah tasbih?

Sedikit, kedua alisnya dibuat menaut. Namun, beberapa detik setelahnya, bibir tipisnya mulai terangkat—membentuk senyum  yang sulit diartikan.

💔💔💔

Masih dengan kaki melangkah. Tak henti, aku menyeka air mataku. Bagaimana bisa, disaat semua orang lebih memilih pergi untuk mencari tempat perlindungan karena derasnya hujan atau sekedar menikmati teh hangat di sebuah Kedai, tubuhku justru menuntun langkahku pada sebuah taman.

Hingga tiba pada kursi panjang kayu. Tak segan, aku hempaskan tubuhku terduduk. Bahkan, sepertinya langit pun ikut berkabung atas musibah cinta yang aku alami. Nampak bentangannya kian berubah pekat. Tak lupa, diiringi suara petir yang menggelegar. Menambah kesan buruk bagi siapa saja yang melihatnya.

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang