Davin Pov
Karena mengingat tak terdapat asupan apapun yang memasuki perutku, setelah kali terakhir mendapatinya pagi tadi. Tak memungkiri, membuat pening itu seperti menggelayuti kepalaku.
Pasalnya, dengan Zahra yang berjanji akan mengantarkan bekal saat jam istirahat tiba. Nyatanya, hingga jam kerja ku berakhir. Tak sedikit pun, aku melihat tanda hadirnya.
Lagi. Aku yang berharap, permohonan maaf itu akan terlontar, karena ia yang tak dapat menepati janji. Kini, justru hanya menyisakan kekecewaan mendalam.
Bahkan, jika sebelumnya keinginan untuk memulai bersamanya sempat terbesit kembali. Nyatanya, dengan sikapnya yang seolah mempermainkanku. Entah mengapa, menjadikan ketidakpercayaan itu tak lagi ada dihatiku.
Dan karena aku yang terlalu membicarakan perihalnya, membuatku pun tak menyadari, jika laju mobilku sudah memasuki area tempat singgah ku. Hingga setelah memarkirkannya. Tak menunggu lama, ku hentakan kaki ku menuju daun pintu utama.
Baru saja tanganku hendak meraih gagangnya, sesuatu kian lebih dulu mengganjal di kaki kiriku. Membuatku yang menyadarinya, melangkah mundur.
Meski dahiku sedikit berkerut, mendapati sesuatu itu tak lain adalah kunci pintu utama. Namun tak lepas, ku ulurkan tanganku meraihnya.
Mungkinkah ia tak sengaja menjatuhkannya?
Menggeleng pelan. Perlahan, ku gerakkan tanganku memasuki kunci tersebut. Namun, belum sampai aku memutarnya, pintu itu kian lebih dulu terbuka.
Meski sesaat dibuat termenung di tempat. Namun, tak segan, aku pun melangkahkan kakiku, memasukinya cepat. Entah mengapa, perasaan tak enak itu seakan tiba-tiba mengikis hatiku.
Di mulai menaiki anak tangga. Ku gerakkan kaki ku menuju kamar. Namun, dengan tak sedikit pun menemukan tanda hadirnya. Baik di kamar kecil maupun balkon, membuatku lantas beralih menuju ruangan lainnya.
Nihil.
Bahkan, denganku yang memilih kembali menuruni anak tangga. Melakukan pengecekan di halaman belakang. Nyatanya, hanya tarian pohon yang aku dapatkan. Hingga dengan dapur, yang menjadi harapan terakhirku. Kini, justru hanya menyisakan sebuah semu.
"Zahra. Kamu dimana, sayang?"
Berusaha untuk menepis pikiran buruk yang mulai berdatangan. Dengan cepat, ku gerakkan tanganku meraih benda pipih dalam saku celanaku. Hingga setelah layar ponsel menampilkn cahaya putihnya. Tak segan, ku gerakkan ibu jariku mengetuk tombol kontak.
Dan tak menunggu lama, setelah mendapati namanya tertera, aku pun lantas menekan lambang call. Tapi—
Drrtttt Drrrttttt
Menyadari sebuah getaran hebat tak kalah juga menusuk indra pendengarku, seiiring ponselku berada pada panggilannya. Membuatku setelahnya, mengedarkan pandanganku.
Dan benar saja. Dengan masih menampilkan layar putihnya. Ponsel itu nampak tergeletak di atas nakas. Membuatku yang setelah memutuskan panggilan, beralih meraih benda pipih itu.
Ya. Ini tak lain adalah ponsel miliknya. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi?
Menarik nafas, lantas menghembuskannya pelan. Kembali, aku pun menekan tombol on pada layar ponsel ku.
Memilih menghubungi Mama. Siapa sangka, jika dirinya bersamanya.
Namun, dengan mendapati jawaban yang terlontar tak sesuai ekspetasi. Tak memungkiri, menjadikan gusar itu kian menyelimutiku.
Tak ingin berhenti begitu saja. Aku pun lantas beralih menghubungi Ayah. Tapi, lagi-lagi, mendapati jawaban itu—tak membohongi, membuat pikiran buruk tak dapat lagi aku menepisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
Fiksi Umum•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019