Setelah memastikan tak lagi ada barang yang tertinggal. Kini, aku melangkahkan kakiku menuju nakas yang terletak di samping tempat tidurku.
Meski pelan, namun aku bisa merasakan energi listrik yang mulai menjalar cepat saat tanganku bergerak menarik laci nomer urut dua. Hingga tepat, saat dalamnya menampilkan sebuah benda bersampul cokelat, guncangan hebat seakan kembali menyerang tubuhku.
Layaknya slide dalam layar lebar. Bahkan, kepingan demi kepingan peristiwa kian sudah berputar di otakku saat tanganku terulur hendak meraihnya. Namun, dengan sebuah suara lebih dulu merambat, membuatku mau tak mau berakhir menarik kembali uluran tanganku, lantas bergegas menutup kembali laci tersebut.
"Kayla."
Dengan tubuh yang sudah berputar menatapnya. Terlihat, senyumnya mengembang di ambang pintu. Dan tak lama, derap kakinya menghentak menghampiriku.
Menyadari langkahnya yang kian mendekat, membuatku pun sontak memundurkan tubuhku. Namun, karena posisi nakas yang berada di belakangku, menjadikan pinggangku kini berakhir berbenturan.
Berusaha untuk tidak meringis, aku mengepalkan kedua tanganku. Sementara dengan jarak satu langkah dari posisiku, terlihat langkahnya sudah dibuat berhenti.
"Sudah siap?"
Tersenyum kikuk, tanganku kini sudah berganti memilin gamisku. Entah mengapa, Semenjak tragedi memalukan kemarin, rasanya aku benar-benar tak sanggup menampakkan wajahku dihadapannya.
Meski ia sendiri tak mempermasalahkan hal itu. Tetap saja, aku masih tak bisa melupakannya. Bahkan, guna menghindari rasa malu itu, hingga saat ini aku justru lebih memilih menghindarinya.
"Ayah dan Ibu sudah menunggu, ayo! L" tambahnya, dengan tangan kanan yang terulur di depan wajahku.
Sebenarnya aku pun tak begitu tega untuk menolak permintaannya. Namun, setelah mendapati sesuatu itu melintas —rasanya menurutku itu akan jauh lebih penting daripada segalanya. Hingga dengan tersenyum kikuk, perlahan aku memberanikan membuka mulutku.
"Sepertinya... Kay telah melupakan sesuatu."
"Mmm.... Mas Davin duluan saja. Setelah selesai, Kay akan menyusul."
Sembari menggigit bibir, tanganku sudah mengepal kuat. Mendapati raut kecewa di wajahnya, rasanya benar-benar membuatku jauh lebih ikhlas jika ia mengutukku saat ini.
Namun, sepertinya itu hanya akan menjadi persepsiku saja. Kini, tangannya justru berganti mengusap puncak kepalaku diiringi senyum kecil.
"Aku tunggu di bawah ya."
Tak sampai memakan sepuluh detik, tubuhnya kini justru beranjak pergi. Bukan. Bukan lagi meninggalkan kamarku, tapi langkahnya justru terlihat menghampiri koperku.
Menyadari tangannya terulur hendak meraih koperku, membuatku pun sontak menegakkan posisi tubuhku.
"Biarkan Kay saja yang membawanya, Mas."
Dengan irama jantung yang memompa lebih cepat, semakin kuat aku meremas gamisku. Bahkan, karena sikap keras kepalanya, membuatnya tak sedikit pun mengubris perkataanku. Terlihat, tangannya sudah bersiap menarik koperku.
Namun, sebelum sempurna membawanya. Kini, tubuhnya lebih dulu berputar menatapku, tersenyum kecil.
"Aku saja."
Dan tak membutuhkan waktu lama. Setelah mengamati punggungnya yang tak lagi terlihat. Dengan cepat, aku pun memutar tubuhku, lantas menarik kembali laci nomor urut dua.
Meski aku sendiri tak mengetahui siapa yang menjadi ketetapan takdirku. Namun, entah mengapa, rasanya hatiku jauh lebih yakin akan pertemuan dengan Izhar nantinya. Hingga setelah mendapati benda yang menjadi tujuan utamaku, perlahan tanganku pun terulur meraihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
Художественная проза•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019