"Itu hanya akan menghabiskan energimu saja, Nona."
"Dan asal Nona tahu, aku adalah anak tunggal pemilik restoran ini."
Seperti dibuat berdesir hebat. Dengan menelan saliva kasar, kini benteng pertahananku pun berakhir runtuh.
Bahkan, jika pun aku menyangkalnya, tak sedikit pun aku temukan kebohongan di matanya. Terlebih, saat melihat dari mereka yang jua tak tak ada tanda-tanda hendak mengulurkan tangannya untukku. Membuatku semakin berpikir, jika perkataannya memang lah benar adanya.
Tapi, Allah... apakah sedikit saja hati mereka tak terbesit untukku?
"Siapa pun yang memasuki wilayahku, dia juga harus berhadapan denganku."
Masih dengan menatapnya. Netra cokelatku masih tiada henti berputar, saat posisi duduknya sedikit membungkuk ke depan dengan kepala yang dimiringkan mengarah kanan.
"Nona, paham?"
Seakan nafasku dibuat berhenti. Meski suara itu terdengar lirih, namun cukup menjadikan tubuhku kian bergetar hebat.
Sementara dengan bibir yang menyeringai, lelaki itu sudah kembali dengan posisi duduknya.
"Ayolah, Nona. Aku hanya ingin berteman denganmu, apakah itu sangat bermasalah untukmu?" tambahnya, dengan tangan yang hendak meraih wajahku. Namun, karena aku lebih dulu menyadari niatnya, membuatku dapat dengan cepat memundurkan tubuhku.
Semakin kuat, aku terus meremas gamisku. Begitu juga dengan butiran bening yang sudah kembali membasahi wajahku.
Seolah otakku berhenti dibuat bekerja. Bahkan, tak ada yang bisa aku lakukan saat ini, selain berdo'a kepada Sang Rabb, juga sesekali melirik penuh harap pada mereka yang masih setia menjadikanku bak pertunjukkan.
Namun, nihil. Meski rasa perih itu sudah mengiris hatiku, tak sedikit pun terlihat pergerakan dari mereka.
Dan seakan peristiwa ini sudah menjadi hal lumrah. Aku bisa melihat, beberapa dari mereka lebih memilih melanjutkan aktivitas mengisi perutnya. Membuat tanganku pun berganti mengepal kuat.
Sementara menyadari wajahnya yang perlahan mendekat, membuatku pun sontak memundurkan tubuhku yang masih bersandar pada kursi.
"Tu... tuan jangan macam-macam. Jika tidak—"
"Jika tidak?"
Tak peduli dengan rasa sakitnya. Semakin kuat, aku terus mengepalkan kedua tanganku.
Kedua alisnya yang nampak menaut diiringi tatapan intens nya, membuatku benar-benar begitu menyesali kedatanganku kemari. Dan Davin—dimanakah ia?
Bahkan, tanpa adanya benda bulat di sekitar pun, aku bisa menerka jika kepergiannya berjalan dua puluh menit sudah. Oh Allah... apakah benar ia telah melupakanku? Atau memang berniat meninggalkanku?
"Katakan saja, Nona. Aku ingin mendengarnya," tambahnya, setelah membenarkan posisi duduknya. Kini, wajahnya terlihat bersandar pada tangan kanan yang sudah dijadikan pilarnya.
"Aku akan memanggil suamiku."
Sembari menggigit bibir, aku berusaha menetralisir detak jantungku.
Meski hingga saat ini aku tak melihat tanda hadirnya. Setidaknya, dengan memberikan keyakinan pada lelaki itu akan dapat membuat sendirinya pergi menjauhiku.
Namun, rasanya ekspetasiku terlalu tinggi akan hal itu. Bibirnya justru menyeringai, dengan kedua tangan yang saling bertumpu. Seakan menjadi pertanda tak ada rasa takut yang menyelimutinya.
"Aku bukanlah tipe lelaki yang mudah dibohongi, Nona. Bahkan, sedari tadi aku tak melihat keberadaan suamimu."
Layaknya tubuhku dibuat tersungkur jatuh. Dengan menelan saliva kasar, butiran bening kian tak segan kembali luruh membasahi wajahku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
Genel Kurgu•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019