33-Bersama di Kota Hujan

15 3 1
                                    

Aroma petrikor menyeruak berbaur dengan wangi bunga. Sang raja siang yang masih tersipu malu terlihat memancarkan sayup sinarnya. Beberapa pot gantung pun nampak andil mengelilingi rumah minimalis itu. Tidak seperti sebelumnya, yang hanya berjejer rapi di pekarangan.

Semenjak menginjakkan kaki kembali. Tak bisa memungkiri, jika tempat ini telah memiliki sebagian perubahan. Warna hitam pada pagar yang tak sampai dua meter, kini telah menjelma menjadi hijau. Tak hanya itu, tanaman sejenis rempah-rempah pun terlihat padat memenuhi lahan yang semula kosong disisi kanan rumah. Sementara untuk sisi kirinya masih setia di tumbuhi pohon mangga juga kelengkeng.

Kecintaannya terhadap tumbuhan, membuatku hanya bisa menggeleng pelan. Sebelum kembali ke Depok, aku memang memutuskan untuk mengunjungi rumah Sasa, lantas setelahnya berganti menuju Butikku. Tentu, ini tak terlepas dari izin yang diberikan Davin. Karena mengingat, hari ini juga sudah memasuki jatah liburnya. Dan perihal dirinya—kini telah juga mengunjungi teman lamanya.

"Lalu, bagaimana hubunganmu dengan suamimu? Baik-baik saja, bukan?"

Dengan sudut bibir melengkung tipis, tatapanku sudah dibuat beralih pada Sasa, yang tengah meletakkan nampan yang dibawanya beralih pada meja. Hingga setelah dua cangkir teh hangat juga dua toples cemilan itu mendarat sempurna. Kini, disusul tubuhnya yang terduduk di kursi sampingku, dengan tak lupa sisi tengah disekat sebuah meja.

Kondisinya yang jauh terlihat baik dari yang aku bayangkan, membuat rasa syukur tak henti terucap dihatiku.

"Seperti yang kau katakan sebelumnya. Skenario yang diberikan-Nya justru menjadikan kami bertahan sejauh ini," balasku, dengan pandangan mengarah deretan bunga.

"Terkadang takdir teramat sulit untuk kita tebak, Kay. Dan aku hanya bisa berdo'a, semoga pernikahanmu selalu di ridhoi oleh Allah."

Menghembuskan nafas pelan, ku alihkan tatapanku mengarah Sasa yang tengah mengulas senyum. Sikapnya yang selalu mengutamakan kebahagian yang lain, membuat rasa kesal itu seringkali menghinggapiku.

"Lantas, bagaimana denganmu? Sudahkah siap untuk menjalani jenjang selanjutnya?" tanyaku, selain mengingat usianya sudah pas memasuki fase menikah, bekal agamanya pun jauh lebih dari kata cukup.

Sementara Sasa, wajahnya kini sudah dibuat beralih menatap deretan bunga di pekarangannya, sebelum sudut bibirnya berubah mengendur. Seolah sesuatu memang telah memenuhi otaknya.

"Seperti hal nya rinai hujan. Jodoh maupun maut itu sudah pasti menjadi ketetapan-Nya, Kay. Hanya saja kita tak tahu kapan masa itu tiba. Akankah maut yang lebih dahulu menghampiri? Ataukah sebaliknya?" jedanya, lantas beralih menatapku.

"Dan seringkali, kita sebagai manusia melupakan bahwa kematianlah yang sesungguhnya dekat bersama kita."

Bukan lagi menjadi tamparan keras untukku, melainkan ia patut mendapat acungan jempol. Dan sikap seperti inilah yang lagi membuat aku begitu bersyukur memilikinya.

Meski tingkat pemahaman agamanya jauh melampaui ku. Namun, Sasa tak sedikit pun memilih dalam bergaul. Bahkan, ia tak segan merangkul siapa saja demi menggapai ridho-Nya bersama.

"Aku tak ingin terlalu dibuat berekpetasi terlalu dalam akan dunia fana ini, Kay. Namun, in syaa Allah, aku akan berusaha mempersiapkan keduanya."

"Dan aku akan selalu berdo'a, semoga Allah selalu melindungimu serta mempertemukanmu pada imam yang sesungguhnya," balasku cepat, membuat kekehan kecil keluar dari bibirnya.

"Dan karena terlampau berbincang, kita sampai melupakan teh hangat yang hampir menyamai air dalam lemari es."

"Silahkan minum, Kay," tambahnya, dengan meraih gelas putih susu itu.

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang