Karena tak dapat lagi menahan dahaga yang ada. Aku memilih membangkitkan tubuhku. Namun, belum sampai kaki ku menuruni ranjang, tatapanku sudah lebih dulu menangkap sebuah sofa yang terletak berada tak jauh dari posisiku.
Seakan menjadikan sesak itu kembali menghantam dada. Bahkan, bukan hanya dirinya yang tak aku temukan. Melainkan, bantal yang menemani mimpi indahnya pun masih setia tergeletak disampingku.
Sedikit, ku gerakkan netra cokelat ku mengarah benda bulat yang terpampang di sudut tembok.
Pkl. 22:30 wib
Lagi, meski waktu hampir menunjukkan tengah malam pun, masih tak ku lihat tanda hadirnya. Allah... apakah begitu besar rasa kecewanya padaku? Hingga membuatnya demikian?
Menyeka air mata pelan. Perlahan, ku gerakkan kakiku menuruni ranjang. Memilih melepas dahaga, setidaknya itu akan membuat hatiku sedikit tenang.
Dengan tangan kanan yang terulur meraih gelas putih susu tersebut. Kini, tubuhku sudah dibuat terduduk di salah satu kursi kayu.
Namun, baru saja aku bersiap meneguknya. Hembusan nafas kasar berakhir keluar dari mulutku, kala mendapati hanya satu tetes air yang tersisa di dalamnya.
"Habis."
Memijit kening sejenak. Aku berusaha menahan rasa pening yang menggelayuti. Hingga setelahnya, dengan langkah gontai, ku arahkan kakiku menuju dapur.
Sebenarnya aku sendiri pun begitu enggan. Namun, mengingat kebiasaanku yang seringkali terbangun untuk melepas dahaga. Membuatku mau tak mau melakukannya.
Seakan irama jantung ku dibuat memompa lebih cepat. Bahkan, aku bisa merasakan bayang amarahnya kian berputar di otakku, seiring langkahku bersiap tiba di ruangan yang lebarnya tak sampai tiga meter itu.
Meski tak lain itu bagian dari ruang kerjanya. Namun, entah mengapa, rasanya cukup membuat sesak itu bertambah menjalar.
Semakin melangkah pelan. Aku berusaha menahan gemuruh kencang yang ada. Hingga tepat saat langkah ku tiba di depan daun pintu, aku bisa merasakan sel-sel tubuhku bak dibuat berhenti bekerja.
"Aku juga tidak tahu, mengapa semuanya seperti ini. Seseorang yang begitu aku percaya justru berkhianat, dengan membawa semua upah pekerja."
Deggg
"Jadi..."
Layaknya dibuat tersungkur jatuh oleh sebuah ekspetasi. Bahkan, kedua tanganku kini sudah mencengkram erat gelas putih susu itu.
"Terimakasih. Secepatnya aku akan memberikan semua data mengenai pribadinya."
Tak dapat ditahan lagi. Butiran bening sudah luruh membasahi wajahku. Sesak. Rasanya begitu sesak, Allah. Jika pun dalam kenyataan ini menjadi bukti bahwa aku bukan lah penyebabnya. Tapi mengapa, aku yang mesti menjadi korban amarahnya?Dan lagi. Istri macam apakah aku ini, Allah. Disaat masalah besar terjadi, apakah sedikit saja peduliku tak bisa diperuntukkannya?
💔💔💔
Sinar mentari memancar begitu indah. Bahkan, karena teriknya, membuat siapa saja menjadi enggan melakukan aktivitas apapun. Terlebih, saat mengingat waktu sudah melewati dzuhur. Akan jauh lebih indah jika bergelut dengan alam mimpi.
Namun, berbeda dengan wanita yang satu ini. Bahkan, dengan senyum merekahnya, netra cokelatnya masih tak henti menatap paper bag dalam pangkuannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
Ficción General•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019