Dengan netra yang tak lepas mengamati arah luar jendela mobil. Kini, dahiku sudah dibuat berkerut.
Meski kepulanganku di Depok tak pernah menggunakan jalur yang tengah aku lalui saat ini. Namun, rasanya jalanan ini seperti tak cukup asing bagiku. Hingga dengan ragu, ku beranikan diri menatapnya.
Mendapati netranya yang begitu fokus dengan kedua tangan yang sibuk menyetir. Entah mengapa, membuat nyaliku seakan lebih dulu menciut. Terlebih, bayang perkataannya yang berbaur dengan luapan emosi melintas begitu saja di otakku. Membuatku pun berakhir memilih mengurungkan niatku.
Namun, Davin—sepertinya ia pun menyadari akan kebimbanganku. Dengan tersenyum tipis, netranya kini beralih menatapku.
Berbeda denganku, yang bahkan tak kuasa menahan gemuruh kencang yang ada, jauh lebih memilih merundukkan wajah.
"Sebelum aku kembali sibuk dengan pekerjaanku. Aku ingin kita menghabiskan waktu bersama. Tidak apa, bukan?"
Dengan tangan yang tak henti memainkan kain gamis. Sebisa mungkin, aku berusaha menetralisir detak jantungku.
Entah mengapa, meski aku merasa netra cokelat itu tak lagi menatapku, rasanya tubuhku selalu berdesir hebat jika berada di dekatnya. Terlebih, mengingat hanya ada aku dan dirinya saja saat ini.
Tentu. Aku sangat tahu, jika ini bukan lagi suatu permintaan, tapi anggap saja suatu ke-seharusan.
Dan bukankah sedari acara kemarin hingga sekarang kita sudah menghabiskan waktu bersama? Lalu, dengan perkataannya saat ini, apa maksudnya?
Apakah Davin akan membawaku berbulan madu seperti kebanyakan pengantin baru?
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar"Alhamdulillah."
Bersamaan kalimatnya terlontar. Kini, dengan sekali tarikan nafas, wajahku sudah terangkat. Tak lupa jua mengucapkan kalimat serupa di dalam hati.
Bahkan, hingga adzan dzuhur berkumandang pun, aku masih setia dengan diamku, meski beribu pertanyaan sudah menggelayuti otakku.
"Kay."
Sedikit tersentak karena suara itu merambat jelas di telingaku. Dengan ragu, aku memberanikan diri menatapnya.
Netra cokelatnya yang masih setia menatap lurus jalanan dengan rahang yang nampak begitu mengeras, membuatku hanya bisa menelan saliva kasar.
Bukan. Bukan karena ketakukan akan perkataannya yang sempat teriang di otakku. Tapi entah mengapa, rasanya bibirku bak diberi perekat lem.
Ujung hidung yang nampak begitu runcing, dilengkapi perpaduan merah delima pada bibir tipisnya, membuat siapa saja yang melihatnya pasti akan dibuat terkesima.
"Kayla."
Menyadari kembali akan suara itu, dengan cepat aku langsung merundukkan wajahku. Berusaha menggerakkan sedikit bibirku.
"I... iya, Mas."
"Sayang."
Bagai dialiri ribuan listrik. Dengan tubuh yang sudah menegang, aku bisa merasakan desiran aneh itu merayap begitu cepat.
Bagaimana tidak, kalimat itu terlontar bersamaan dengannya. Membuat jantungku benar-benar tak kuasa untuk tidak melompat keluar.
Untunglah, wajahku sudah kembali dibuat merunduk. Jika tidak, Davin pasti akan menggodaku, karena rona pipiku yang menyamai kepiting rebus.
"Kita berhenti di masjid depan ya?" ucapnya, membuatku hanya bisa meremas jari-jemariku. Tak berniat ingin membalasnya.
"Setelah menunaikan shalat dzuhur, baru kita melanjutkan perjalanan kembali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
General Fiction•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019