"Karena demi Nala, sekarang Om Davin akan menerimanya. Makasih ya, sayang," ucapnya, sembari berjongkok. Lantas, mengecup keningnya singkat.
"Sama-sama, Om."
Sementara disisi lain, terlihat pergerakan Bang Rafka dan Mbak Liya mulai menghampiri Ayah dan Ibu.
"Kalau begitu Rafka dan Liya izin pamit ya, Yah, Bu. Mohon keselamatan doanya," ucapnya, kemudian menyalami Ayah, Ibu bergantian. Lalu setelahnya, disusul oleh Mbak Liya.
"Ingat, Raf. Jaga Nala dengan baik, istrimu sedang mengandung. Kasihan Liya kalau terus mengurus gigi Nala, karena ulahmu yang seringkali membelikannya cokelat," balas Ayah, membuatku hanya bisa menghembuskan nafas kasar. Tak heran, dengan kebiasaan Bang Rafka yang seringkali membelikan cokelat dengan dalih sayang anak.
"Hehe siap 45, Yah."
Namun, sepertinya bukan lagi pemandangan tersebut yang membuatku tertarik. Dengan sudut bibir yang terangkat ke atas, kini tatapanku sudah berganti pada Ibu yang memeluk erat Mbak Liya.
Entahlah, rasanya tak ada yang bisa aku deskripsikan saat ini, selain kata syukur yang tiada henti terucap di dalam hati.
Memiliki keluarga harmonis, tentu itu adalah impian dari semua orang dan tak jarang pula jika hanya beberapanya saja yang dapat memilikinya.
Bahkan, meskipun Mbak Liya hanya sebagai kakak ipar. Tapi, kasih sayangnya padaku sudah seperti seorang kakak kepada adiknya.
"Jangan sungkan untuk terus mengabari kami ya, Li."
Tanpa aku sadari, butiran bening itu luruh begitu saja. Jika sebelumnya, aku selalu tegar dengan perpisahan ini. Tapi entah mengapa, rasanya kali ini hatiku justru berbanding terbalik.
"Hey, adik Abang menangis?"
Menyadari suara itu, dengan cepat aku menyeka air mataku. Sepertinya bukan lagi memancing, tapi perkataan Bang Rafka berhasil sudah membuat tatapan mereka beralih padaku.
Tak ingin membuat suasana semakin runyam. Kini, aku memilih memaksakan senyumku.
"Hanya terkena serpihan debu, Bang."
"Yang benar... padahal pagi tadi ingin sekali Abang yang menemani...."
Dengan membelalak tak percaya, aku pun mendaratkan cubitan kasar pada lengannya. Entahlah, rasanya untuk ini aku lebih memilih tak mempedulikan tatapan mereka.
Bukannya apa, seharusnya pembicaraan tersebut tak sampai pada telinga yang lain. Dan ya—perihal itu lupakan saja! Sekarang aku benar-benar menyesalinya.
"Awww aduh sakit, Dek."
"Biarkan saja!"
Sementara dengan bibir yang sudah dimajukan, aku sudah menghentikan aksiku. Lantas, beralih mengedarkan pandangan mengarah sisi kananku.
"Abang kemari masih sangat lama loh, Dek. Beneran tidak ingin memaafkan Bang Rafka mu ini?"
Sembari menghela nafas kasar. Kini, aku sudah dibuat kembali menatapnya. Begitu juga dengan Bang Rafka, terlihat sudut bibirnya sudah terangkat ke atas. Tak lama, disusul tangan kanannya yang terulur mengusap puncak kepalaku.
"Meskipun status adik Abang ini sudah berganti menjadi seorang istri. Tapi untuk Abang, Kayla tetaplah adik kecil Abang."
"Tetaplah berbakti padanya, jadilah istri yang sholehah."
Tak dapat dibendung lagi. Dengan butiran bening yang bersiap luruh, ku gerakkan tanganku merengkuh tubuhnya. Menumpahkan segalanya, mungkin ini akan menjadi terakhir kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
General Fiction•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019