35-Sebuah Pesta

14 3 1
                                        

Setelah mematikan sambungan telepon. Kini, dengan menghela nafas, tatapanku sudah dibuat beralih pada pria paruh baya dihadapanku.

Meski yang dilakukannya teramat fatal. Bukan berarti membuatku juga dengan mudah menghakiminya begitu saja.

Jika saja, permasalahan berat itu tak menimpanya. Mungkin, ia pun tak akan melakukan tindakan demikian.

"Pergilah!"

"Kehadiran Bapak sebagai sesosok Ayah jauh lebih dibutuhkan saat ini."

Setelah dibuat banyak mempertimbangkan. Kini, aku memilih untuk tidak memperpanjang masalah tersebut.

Selain tak ingin menggores kebahagiaan hari ini. Tak menutup kemungkinan, membuat rasa simpati itu membumbung tinggi di dalam diriku.

"Tunggu! Apa maksudmu, Vin?! Kau ingin membebaskan pria tua ini begitu saja?"

Memilih tak mengubrisnya. Dengan gerak cepat, ku ulurkan tangan kiriku menengahi tubuhnya. Berusaha  menghalau jika aksi baku hantam  terjadi nantinya.

"Pergunakanlah uang itu sebaik mungkin. Putri Bapak jauh lebih berharga."

"VIN!"

Dengan berganti menahan lengannya. Terlihat, wajahnya kian berubah merah padam. Menjadikan tanda bahwa hanya menghitung detik lagi amarahnya membuncah.

"Pergilah!" ucapku, mempersilahkan. Membuat wajah terkejutnya juga penyesalannya nampak berbaur menjadi satu. Tak lama, disusul kedua tangannya yang menangkup di depan dada.

"Te... terimakasih, Pak Davin. Sekali lagi, saya ucapkan terimakasih. Dan segera mungkin saya akan mengembalikan uang tersebut."

Menggeleng cepat, ku ulurkan tanganku menyentuh kedua bahunya.

Meski kerugian yang aku alami begitu besar, karena setara dengan nilai jual sepeda motor. Sungguh, rasanya hatiku akan jauh lebih terluka, disaat hidupku tak lagi berguna untuk kebanyakan.

"Anggap saja, jika ini sebagai suatu apresiasi yang dapat saya berikan. Karena Bapak telah melakukan kontribusi baik untuk bisnis saya," jelasku, membuat air matanya terlihat kembali luruh. Tak lama, aku pun bisa merasakan tubuhnya yang kian memeluk erat tubuhku.

"Saya tidak tahu lagi, bagaimana membalas kebaikan, Pak Davin."

Menarik nafas pelan. Aku berusaha menahan air mataku agar tidak ikut luruh. Hingga dengan perlahan, ku gerakkan tanganku, melepas pelukannya.

"Jagalah putri Bapak dengan baik. Karena sesungguhnya dialah harta yang jauh lebih berharga dibanding apapun."

Benar. Perihal harta, mungkin dapat mudah dicari. Namun, kesehatan—rasanya terlalu mustahil untuk datang kedua kali.

Lagi. Jika pun aku berada diposisinya. Tak dapat memungkiri, jika aku akan melakukan hal serupa.

"Pergilah! Putri Bapak pasti sudah menunggu kehadiran, Bapak," tambahku, mempersilahkan. Membuat wajahnya bahagianya terpatri jelas, dengan kedua tangan menangkup di depan dada. 

"Sekali lagi saya mohon maaf atas tindakan yang saya lakukan, Pak Davin. Semoga Allah membalas semua kebaikan, Pak Davin."

"Kalau begitu saya izin pamit, Pak. Assalamu'alaikum."

Setelah meng-aminkannya dalam hati. Lantas, berucap membalas salamnya bersamaan dengan Brama. Kini, seulas senyum berakhir melengkung di bibirku saat tubuhnya melenggang pergi.

Namun, hal itu tak berangsur lama, saat decakan kesal keluar dari mulutnya.

"Aku benar-benar tak habis pikir denganmu. Perlakuan pria tua itu sudah terlampau batas. Tapi, kau justru membebaskannya dengan memberikan uang mu begitu saja."

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang