43-Hafza

11 2 0
                                    

Davin Pov

Dengan amarah yang meluap. Tak segan, ku gerakkan tanganku yang mengepal kuat menghantam dinding dihadapanku. Bahkan, tanpa mempedulikan sakit yang ada. Kembali, ku gerakkan tangan kiriku ikut menghantamnya.

Benar. Meskipun dalam pembicaraan tersebut, aku tak dapat menangkap jelas perihal yang dibahas. Namun, mendapatinya yang enggan memberikan batasan juga sosok itu yang tak lain adalah masalalunya. Karena mengingat, aku pun pernah mendapati fotonya dalam diary nya. Tak bisa membohongi, untuk kecewa dan perih itu menyelimutiku.

Tentu. Aku sangat tahu, jika sikap berburuk sangka jauh tak dibenarkan adanya. Tapi, dengan tatapan cinta yang tersirat pada keduanya. Bukankah cukup menjadi bukti, bahwa kisah itu tak lagi usai?

Menarik nafas pelan. Ku gerakkan tanganku menyeka air mata perlahan. Dan pada nyatanya, aku benar-benar tak menyangka jika ketakutan yang selama ini adanya, justru jauh memilih mengantarkanku pada bentang patah terbesarku.

💔💔💔


Memilih memalingkan wajah. Tanganku sudah dibuat mengepal kuat di bawah meja. Bukan. Bukan lagi menjadikan perih itu menyelinap dihati. Melainkan, kecewa dan benci lah yang tak segan mendominasi.

Benar. Seusai mendapati pernyataannya yang jauh tak pernah aku bayangkan. Aku memang memutuskan untuk menjadikan Cafe terdekat sebagai alternatif tempat untuk menyelesaikan kisah lalu ku dengannya.

Entah mengapa, aku begitu tak ingin saja, jika Davin mengetahui perihal ini. Karena mengingat, selama menjalin hubungan bersamanya. Tak sedikit pun, aku berbagi kisahku padanya.

Selain tak ingin membuka luka lama. Sungguh, rasanya aku begitu takut, jika dengan keterbukaanku justru berakhir membuatnya teramat membenci diriku.

"Saat kepulanganku dari Kairo. Sebuah kabar duka datang menyambutku, bahwa kematian bunda sudah berjalan satu bulan lamanya."

Meski sedikit tertegun mendapati pernyataannya. Namun, tak lepas menjadikanku memilih terdiam. Mencerna baik penuturan setelahnya.

"Bunda sempat menitipkan surat wasiat untukku. Yang dimana tertulis, bahwa aku harus menikahi Aisyah atas dasar perjodohan yang sempat dilakukan Bunda dengan mendiang orangtua Aisyah."

Seakan bukan lagi menciptakan hawa panas yang ada. Bahkan, aku bisa merasakan butiran bening itu kian mengganjal sudah di kelopak mataku.

"Saat itu, aku benar-benar bimbang, Kay. Aku—"

"... aku terlalu lemah, jika menyangkut perihal Bunda."

Menarik nafas sesak. Aku sudah dibuat menduga akan keputusannya.

Tentu. Aku sangat tahu. Jika menuruti pinta kedua orangtua adalah yang paling utama. Tapi, apakah sesulit itu untuk membicarakannya secara baik?

"Sebelum pernikahan itu terjadi. Aku sempat mengunjungi rumahmu, Kay. Namun, aku mendapatinya tak berpenghuni."

Bahkan, Allah... sekalipun aku kembali dibuat terlampau jauh berburuk sangka padanya. Tak bisa membohongi, untuk sesak itu bak menghimpit rongga hatiku.

Aku sangat ikhlas, Allah... Jika memang Kau menjadikan kepindahanku di kota hujan sebagai tabirnya. Namun, tidakkah ia berusaha mengupayakan pertemuan itu dengan cara lain?

"Aku berpikir, jika memilih menikah dengan Aisyah semuanya berakhir baik. Namun, mendapati pertemuan denganmu di minimarket itu, justru menyadarkanku bahwa aku tak lebih seperti lelaki munafik."

Seakan bukan lagi menjadikan ingatanku mundur. Kini, aku bisa merasakan benteng pertahananku yang jua ikut dibuat runtuh.

Tidak, Allah! Bahkan, sejauh perlakuannya yang mendustai janjinya, kemudian memilih menghindari pertemuan itu. Bukankah jauh sudah terlampau munafik? Tapi, mengapa. Mengapa ia baru menyadarinya, disaat kata terlambat sudah menjadi penutupnya?

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang