10-Rindu?

48 10 2
                                    

Tak terasa waktu kian begitu cepat berlalu. Kini, dengan melewati satu minggu sudah dari waktu yang ditentukan. Tak sedikit pun, aku mendapati tanda-tanda kemunculan pria itu.

Entah, sudah keberapa sekian kalinya aku membuka ponsel. Tapi, lagi-lagi, hanya sebuah tanda centang satu yang aku dapatkan.

Kembali, aku menghembuskan nafas kasar. Lantas, dengan wajah sayu, ku gerakkan tubuhku berputar.

Mendapati wajah Ayah yang terduduk manis di sofa, entah mengapa, Allah... rasanya membuatku tak punya nyali untuk menatapnya.

Aku...
Aku, tlah melukai hatinya untuk kedua kalinya, Allah.

"Bagaimana, Kay?"

Dengan menggeleng lemah, aku sudah dibuat menggigit bibir. Sementara Ayah—terlihat tersenyum simpul menanggapinya.

"Kemari, Nak," lanjutnya, sembari menepuk sofa disamping kananya. Membuatku yang mengerti maksudnya, perlahan melangkahkan kaki mendekatinya. Mendaratkan tubuhku, terduduk di samping paruh baya itu.

"Kay sudah yakin dengan keputusan, Kay?"

Seperti dibuat bungkam ribuan bahasa. Aku masih dibuat mencerna perkataannya. Apakah aku sudah yakin dengan keputusanku?

Tapi, bukankah semuanya sudah terjawab dalam istikharahku? Lantas, apa yang mesti aku khawatirkan, Allah?

Ya. Mungkin ini perlu kembali pada diriku. Yang memang belum sepenuhnya memantapkan jawaban atas istikharahku.

"In syaa Allah sudah, Ayah," balasku, dengan bibir sedikit bergetar. Tapi, Ayah—ia pun seolah mengerti akan kebimbanganku. Terlihat, netra cokelatnya kini berganti menatapku lekat.

"Nak, apapun yang akan dikehendaki Allah nantinya, percayalah jika itu sebenar-benarnya yang terbaik untukmu."

Hening.

Meski terdengar biasa. Namun, tak dapat membohongi, jika perkataan itu berhasil menohok hatiku.

Setelah mengingat dimana dirinya yang menghilang bak ditelan bumi. Bagaimana jika hal itu terjadi, Allah?
Bahkan, sempat ku pikir jika dalam dua hari itu tak begitu cukup untukku mendapat jawaban lewat istikharahku. Tapi, dengan kuasa-Nya, maha suci Allah, aku dapat menunaikan istikharahku hingga aku menemukan jawaban atas kebimbanganku.

Tapi—pria itu...

Kemana dirinya?

Dan inilah yang begitu aku takutkan, Allah. Disaat hatiku berusaha memantapkan pada satu pilihan, Kau justru mematahkan harapan itu. Bahkan, semakin membuatnya rumit.

Kring Krinngg Kriinnggg

Seakan bukan lagi membuat lamunanku membuyar. Kini, dengan tatapan beralih pada telepon rumahku. Sedikit, harapan itu dibuat kembali melambung tinggi. Bahkan, angan-angan indah tak segan menggelayuti pikiranku.

Hingga dengan menelan saliva, ku beranikan netra cokelatku menatap lekat Ayah. Lantas, setelah mendapat sedikit anggukan darinya, tubuhku kini perlahan dibuat bangkit.

Satu langkah...
Dua langkah...
Tiga langkah...

Dengan gemetar, ku ulurkan tanganku meraih benda itu. Hingga berakhir, aku bisa menangkap jelas bagaimana suara itu merambat halus di telinga kananku.

Tak butuh waktu lama untuk aku berbincang dengan sang empu. Kini, panggilan telepon pun di tutup secara sepihak. Membuatku setelahnya hanya bisa menghela nafas kasar.

"Siapa, Kay?"

Kalimat itu berhasil membuat tubuhku berputar menatapnya. Mendapati dahinya yang sedikit berkerut, lagi-lagi hanya bisa membuatku menghela nafas.

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang