11-Cerita Malam

43 10 4
                                    

Berulang kali bibirku tak henti memuji keindahan Sang Rabb. Satu bulan, namun dipenuhi banyak bintang. Aku tak menyangka, jika Bang Rafka akan membawaku ke tanah lapang seperti ini.

Seakan ditarik mundur pada peristiwa beberapa tahun silam. Dengan hanya berbalut gamis seperti sekarang, aku begitu ingat kali terakhir kemari bersamanya.

Ya, saat itu aku masih duduk di bangku SMA. Dan karena aku berhasil memenangkan lomba sejarah masa itu, sebagai hadiah pemberiannya—Bang Rafka membawaku kemari.

Jika kebanyakan sang kakak akan menghadiahkan sesuatu yang berharga untuk sang adik. Seperti, buket uang, pakaian baru, tas branded, hingga tiket liburan, Bang Rafka tidak. Ia selalu mempunyai cara tersendiri untuk membahagiakanku.

Meski sempat dibuat bertanya-tanya. Namun, seiring berjalannya waktu aku pun mengerti. Ya. Jika tolak ukur kebahagiaan memang tak semuanya dapat tercipta oleh materi.

Dan mengenai perbedaan yang diberikannya, itu pula membuatku mengerti arti kasih sayang sesungguhnya.

Dengan senyum yang tak pernah pudar. Tak henti, aku panjatkan rasa syukur pada-Nya. Mendapati keluarga yang bahagia tentu ini adalah impian dari semua anak.

Namun, itu semua tak berangsur lama, saat aku memilih kembali menarik senyum itu.

Mendapati bentang langit yang tiba-tiba menjelma wajahnya. Tak memungkiri, membuat sesak itu kian kembali menghantam dada. Lagi, saat mendapati wajah gadis itu yang tengah tersipu malu, saat lelaki dihadapannya mengungkapkan isi hatinya. Membuat debaran jantungku kian memacu lebih cepat.

"Izinkan aku untuk tetap mencintaimu dalam diamku, Kay. Dan izinkan aku untuk selalu melangitkan namamu di setiap sujud sepertiga malamku. Demi Allah, aku mencintaimu karena Allah, Kay."

Semakin dibuat memburu, kedua bahuku kian sudah dibuat naik turun. Hingga kini, aku bisa merasakan netraku yang juga berganti memanas, saat lelaki tersebut mengeluarkan sebuah tasbih kecil dari saku celananya.

"Jika kamu berkenan memiliki perasaan yang sama, simpanlah tasbih ini, Kay. Anggaplah ini seperti janjiku yang tertulis pada origami hati yang ku selipkan pada bukumu."

"Jika Allah meridhoi. In syaa Allah setelah kepulanganku dari Kairo nanti, bukan hanya tasbih ini yang akan ku jemput, melainkan dirimu."

Dengan kedua tangan yang mengepal kuat, tubuhku sudah bergetar hebat. Bahkan, butiran bening tak segan menganak sungai di wajahku.

"Kay lelah, Bang. Mengapa Allah selalu memberi ujian berat pada, Kay?"

Semakin dibuat terisak, tangisku berhasil memecah keheningan. Mendapati gadis itu yang dengan bodohnya menerima tasbih pemberiannya tanpa memikirkan resiko nantinya, membuatku tak hentinya mengumpati kebodohannya.

Bagaimana bisa, dalam waktu singkat rasa percaya itu dapat tumbuh sepenuhnya?

Bahkan hingga sekarang, dengan rasa percaya yang dimilikannya justru malah semakin membunuhnya.

Masih dengan tubuh gemetar, aku bisa merasakan sentuhan halus pada kedua bahuku. Sedikit dibuat berputar mengarahnya. Untuk seperkian detiknya, netra cokelat kami dibuat beradu.

"Dengar Bang Rafka, Dek. Tidak ada larangan untuk Kay menganggap jika ujian yang diberikan-Nya itu berat. Tapi, Kay juga tidak boleh selalu merasa jika ujian berat itu hanya menimpa pada Kay."

"Allah sudah memberi ujian masing-masing dengan kadar keimanan yang mereka punya. Dan kalau pun Kay menerima ujian seberat itu..."

Semakin lamat, aku dibuat menatapnya. Berusaha meminta sebagian kalimat yang sengaja dibuatnya terjeda.

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang