Meski perpisahan itu tak berangsur satu hari lamanya. Tak memungkiri, membuat rindu itu kian menjelma layaknya gunung yang menjulang.
Bahkan, denganku yang berulangkali memiringkan tubuh menghadap kiri, lantas berganti kanan. Nyatanya, netraku masih enggan terpejam. Hingga dengan pandanganku yang berakhir menangkap fokusnya yang masih setia pada layar ponsel. Membuat hembusan nafas kian keluar dari mulutku.
"Tidak ada Hafza, rasanya sangat sunyi ya, Mas."
Semenjak perpisahan dengan Hafza. Aku memang sudah menceritakan perihal kisah lalu ku padanya. Bahkan, meski denganku yang bertekad untuk memperbaiki semuanya, tak sedikit pun membuatnya merespon. Namun, dengan sikapnya yang tak lagi menghindariku. Tak memungkiri, jika kebahagiaan itu tercipta dihatiku.
"Menurut Mas, kira-kira Hafza sudah tertidur belum?"
Meski ia kembali enggan mengubris. Namun, dengan pandangan menerawang—mengingat kembali bayang bayi mungil itu, kian tanpa sadar membuat bibirku melengkung.
Kebiasaannya yang akan terlelap sebelum adzan maghrib dan kembali terbangun kisaran sembilan malam. Entah mengapa, seakan mampu menciptakan momen indah tersendiri untukku.
Bukan. Bukan perihal aku yang segan berjaga, melainkan kesudian Davin, yang walau dua hari memilih berganti jaga denganku.
Tak hanya itu, meski letihnya terpatri pada rautnya. Namun, aku bisa mendapati jelas, kasih sayangnya setiap kali mengambil alih Hafza, jika dalam gendonganku tangisnya enggan berhenti.
"Entah mengapa, Zahra semakin merindukannya," ucapku kembali, namun kali ini tak membuatnya terdiam. Terlihat, dengan tangannya yang meletakkan asal ponsel tersebut pada nakas disamping ranjang, hembusan nafas kasarnya terdengar membelah.
"Berhenti membicarakan Hafza atau aku pergi?"
Meski dahiku sejenak dibuat berkerut menatapnya. Namun, entah mengapa mendapati raut wajahnya yang terlihat menggemaskan—menahan amarah, membuat senyumku tak dapat lagi tertahan.
Mungkinkah ia cemburu pada Hafza?
"Mas cemburu dengan Hafza?"
Semakin menatapnya lamat. Sebisa mungkin aku menahan tawaku, seiiring mendapati raut bimbang yang menyelimutinya.
"Aku hanya tidak menyukainya."
Kembali menghembuskan nafas kasar. Tatapanku kian beralih sudah pada langit-langit kamar.
Berharap akan mendapati balasannya yang sesuai ekspetasi. Nyatanya, dengan kalimat itu terlontar, cukup sudah menyisakan kesal dihatiku.
Apakah se-sulit itu untuk mengatakannya?
"Tapi, secara tak langsung Mas juga mengakui, bahwa Mas cemburu pada Hafza," ucapku, namun tak lepas, membuatku menyadari pergerakannya yang membaringkan tubuhnya.
"Aku sudah mengantuk. Jangan membuat emosiku tersulut."
Dan lagi. Jika sudah seperti ini, tak ada yang dapat aku lakukan, selain memilih berakhir membungkam mulutku.
💔💔💔
Seperti biasa, saat pagi menyambut, aku kembali disibukkan dengan tanggungjawabku sebagai ibu rumah tangga.
Jika sebelumnya nyanyian Hafza akan menjadikan keterlambatanku dalam menjalani pekerjaan yang ada. Kini, dengan mentari yang memancarkan sinarnya. Beberapa menu bahkan sudah berhasil aku sajikan di meja makan.
Sedikit melengkungkan bibir, tatapanku kian sudah beralih pada sosoknya yang tengah menuruni anak tangga. Hingga sampai derap kakinya menghampiriku, tak segan ku gerakkan tanganku menarik kursi dihadapanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
General Fiction•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019