Dengan tangan yang tak henti meremas jari-jemari. Aku berusaha menetralisir detak jantungku. Entah mengapa, semakin aku menghentakkan kaki menuruni anak tangga, semakin itu pula aku merasakan tatapan mereka beralih padaku.
Sungguh, Allah... rasanya aku benar-benar tak sanggup, jika harus mensejajarkan pandanganku dengan mereka. Tapi, Ibu—dengan gerak tangannya yang menuntun daguku. Membuat tatapanku mau tak mau berakhir beradu.
"Jadi, itu putrimu yang bernama Kayla?"
Bukan hanya menjadikan hembusan angin mengantarkan hawa panas. Bahkan, dengan langkahku yang kebetulan menyisakan dua anak tangga terakhir. Aku bisa merasakan, ketegangan bak mengguncang hebat tubuhku. Terlebih, saat lelaki muda yang terduduk di sisi ujung yang ku duga berderet dengan kedua orangtuanya terus menatapku tanpa berkedip. Sungguh, Allah... rasanya aku ingin menghilang saja dari dunia ini.
Tapi, Ayah—dengan wajahnya berpaling mengarahku. Terlihat, lengkungan tipis justru menghiasi bibirnya. Membuatku yang berusaha membalasnya tersenyum kikuk, sebelum dimana kalimatnya yang terlontar, menjadikan rona pipiku memerah.
"Ya, benar. Dia Kayla, putri kesayangan kami," ucap Ayah, namun tak lepas membuat tanganku yang mengepal kuat, sebisa mungkin melangkahkan kaki.
"Ternyata wajah asli putrimu jauh lebih cantik. Berbanding terbalik dengan foto yang pernah kau tunjukkan padaku."
"Ish Papa itu bagaimana, Bu Ruminya saja cantik. Jadi, wajar saja jika putrinya juga cantik. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya."
Menggigit bibir. Wajahku kian sudah dibuat merunduk usai langkahku berhenti tepat dihadapan mereka.
Meski perkataan kedua orang asing itu terdengar biasa. Tak dapat membohongi, untuk ribuan kupu-kupu itu seperti menuntunku terbang di udara.
"Tapi, untuk Papa. Mama lebih cantik dari wanita manapun."
"Aduh Papa, jangan gombalin Mama di rumah orang seperti ini dong. Mama jadi malu."
Setelah perbincangan di dominasi dengan kedua sosok yang di duga sebagai suami istri. Kini, dengan perkataan Ayah yang memecah keheningan sesaat. Membuatku lantas mengangkat wajahku.
"Kay. Kemari, duduk di dekat Ayah," ucap Ayah, sembari menggerakkan tangan kanannya menepuk sofa yang di dudukinya.
"Baik, Ayah."
Dan tak menunggu lama. Aku pun kembali melangkahkan kakiku. Mendaratkan tubuh terduduk disamping Ayah. Begitu juga dengan Ibu setelahnya, yang jua terduduk disampingku.
Karena tak mampu menahan gemuruh kencang yang ada. Mengingat tatapan lelaki muda itu terus menjurus padaku. Kini, dengan kedua tangan yang menyatu. Perlahan, aku merundukkan wajahku.
Sungguh. Rasanya aku benar-benar tak sanggup, Allah... jika harus berada dalam situasi demikian. Terlebih, mengingat lelaki muda itu terlalu tampan untuk kategori wanita sepertiku. Bahkan, ketampanannya saja mampu mengalahkan Izhar.
Dengan kemeja hitam panjang serta bagian lengannya yang sengaja di lipat hingga siku. Menjadikan kharismanya kian terlihat bertambah dua kali lipat.
Bahkan, tak memungkiri, jika ketampanannya saja mampu mengalahkan aktor-aktor yang ada di televisi."Ini Nak Davin, Kay. Lelaki yang akan menjadi suamimu kelak, jika memang kalian berdua ditakdirkan berjodoh," ucap Ayah, membuyarkan lamunanku. Membuatku yang memahami maksudnya, perlahan mengangkat wajah.
Sementara bersamaan dengan objek yang ku tangkap. Terlihat, lengkungan tipis terukir di bibir ketiga orang asing itu. Membuatku yang semakin dilanda gugup hanya bisa tersenyum kikuk, sebelum dimana sebuah suara berakhir menjadikan sudut bibirku mengendur.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
Ficción General•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019