31-Musibah atau Anugerah

24 2 0
                                    

Davin Pov

Dengan jantung yang bergemuruh kencang, rasa kalut kian menyelimutiku. Pasalnya, meski aku sudah mencarinya dalam tiap sudut ruangan. Namun, dirinya masih tak kunjung aku temukan.

"Kayla."

Dan lagi, disaat balkon yang menjadi harapan terakhirku. Namun, nihil.

Menghembuskan nafas kasar, aku menyugar rambutku frustasi. Bahkan, disaat aku memilih untuk menghubunginya lewat ponsel pun, suara sang operator lah yang lebih dulu menusuk indra pendengarku. Menjadikan rasa bersalah itu kian benar-benar menyelimutiku.

Bagaimana tidak. Kini, ia seperti menghilang begitu saja. Bahkan, dengan pesan yang sedari siang aku kirim pun, masih tak segan menampilkan tanda centang satunya.

Apakah benar dirinya telah kembali?

Tak ingin berpikir lama. Setelah memasukkan kembali ponsel tersebut ke dalam saku celana. Dengan cepat, aku pun melangkahkan kaki ku. Begitu juga dengan satu per satu anak tangga yang telah berhasil aku lalui.

Karena rasa khawatir yang mendalam. Menjadikan tubuhku, kini berakhir terkesiap saat mendapati sesosok yang juga muncul dari balik daun pintu utama.

"Eh, sayang—"

"Kayla dimana, Ma?" potongku cepat, berharap jawaban yang diberikannya dapat sedikit menenangkan hatiku.

"Loh, sayang memangnya tidak tahu? Setelah mengantarkan makan siang untuk mu, Kayla pamit mengunjungi Bogor."

Deggg

"Bo... gor?"

Seakan menjadikan rasa sesak itu menjalar cepat. Bahkan, aku bisa merasakan netra cokelatku yang kian berubah memanas. Tidak! Bukannya bagaimana. Hanya saja, aku masih tak menyangka, jika iaa akan melakukan tindak demikian tanpa berucap pamit padaku.

Lagi. Mengantarkan makan siang? Bahkan, sedari memasuki jam istirahat pun, aku tak mendapati hadirnya.

Apakah mungkin, sesuatu buruk telah menimpanya?

"Hmm. Katanya ada hal penting yang mesti diurusnya."

"Dan Mama lihat kepergiannya juga begitu terburu-buru."

Seakan menjadikan keyakinan itu bertambah kuat. Meskipun aku tak mengetahui alasan kepergiannya yang hanya demi menghindariku atau bukan. Namun, mendapat pernyataan itu, Entah mengapa, membuatku semakin berpikir, jika sesuatu lain memang telah menimpanya.

Apa yang sebenarnya terjadi?

"Jangan bilang kalian sedang ada masalah?" tambahnya, seolah mengerti akan keterdiamanku. Hingga setelahnya, aku bisa merasakan tangannya terulur menyentuh kedua bahuku.

"Dengar Mama, Vin. Sampai kapan pun masalah itu akan tetap ada. Terlebih lagi, saat sudah memasuki fase kehidupan berumah tangga."

"Hanya saja kita sendiri yang perlu menyikapi masalah itu seperti apa. Dan seringkali dalam masalah ini terjadi, kita enggan menuruni ego masing-masing. Hal seperti ini lah yang nantinya berdampak pada masalah yang tak lagi berakhir."

Bagai tubuhku dibuat tersungkur jatuh. Bahkan, untuk sekedar menyangkalnya, lidahku bak begitu kelu.

Benar. Jika saja, aku dapat lebih mengendalikan amarahku dengan tidak menuruti egoku. Mungkin, hal ini tak akan pernah terjadi.

"Ingat, sayang. Jangan menjadikan keterlambatan sebuah akhir dari kata penyesalan."

Mengepalkan kedua tangan. Butiran bening kini tak segan mengganjal di kelopak mataku.

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang