Tak berhenti tersenyum, netraku sudah dibuat memandangi wanita dengan pakaian serba hitam itu. Meski usia kandungannya kian bertambah. Namun, tak mengurangi kadar semangatnya dalam melakukan aktivitas apapun. Terlihat, dengan lincahnya, tangannya tiada henti bergerak mengiris beberapa cabai dalam mangkuk yang tergeletak disampingnya.
Ya. Itu tak lain adalah Mbak Liya. Istiqomahnya yang dalam berpegang teguh pada syariat dan hukum islam. Tak jarang membuat rasa iri itu seringkali terbesit di hatiku.
Menarik nafas pelan. Ku gerakkan kakiku menghampirinya. Namun, Mbak Liya—sepertinya ia tak menyadari akan kehadiranku. Membuatku pun lantas menggerakkan bibirku.
"Bolehkah Kay turut membantu?" ucapku, tak lama sang empu beralih menatapku.
Meski separuh wajahnya tertutupi niqob dengan warna senada. Bukan berarti tak membuatku lepas mendapati senyumnya. Hal itu dapat terbukti dengan matanya yang kian berubah menyipit, karena gerakan sudut bibirnya yang terangkat.
"Perjalanan kemari sudah memakan banyak waktu loh, Kay. Tubuhmu yang letih jauh membutuhkan istirahat."
"Jika dibiarkan beristirahat justru akan menjadi lebih letih, Mbak."
Selain tak ingin membuatnya repot. Mengingat usia kandungannya yang masih rentan. Tak dapat memungkiri, jika kalimat yang aku lontarkan benar adanya.
Entah mengapa, meski sekedar mengistirahatkannya dengan terduduk biasa saja. Rasa letih itu justru dibuat bertambah, jika aku tak menjalani aktivitas semacamnya. Membuat gelengan kecilnya pun kini nampak tercipta.
"Kamu ini ada-ada saja."
"Ya sudah, jika begitu tolong kupaskan kentang yang ada di meja ya," tambahnya, sembari memberi kode melalui tatapan yang diarahkannya pada meja makan.
Mengangguk pelan. Kini, aku sudah dibuat memposisikan tubuhku untuk terduduk di salah satu kursi berjenis kayu itu. Hingga setelahnya, dengan tangan yang terulur mengambil pisau juga kentang, aku pun memulai aksiku. Begitu juga dengan Mbak Liya, yang kembali pada aktivitasnya.
Karena mengingat juga acara syukuran empat bulanan diadakan secara sederhana. Kami memang memutuskan untuk tidak menggunakan jasa catering. Begitu pun berlaku dengan syukuran Nala. Yang dimana, kami menggelarnya hanya bersama keluarga.
Detik kian sudah berganti menit. Bahkan, karena fokus kami semakin teruji. Menjadikan suasana hening tak segan melanda. Hingga berakhir dengan suara yang membelah. Sontak, membuatku melepaskan kedua benda dalam genggamanku.
"Huwekk."
Meski gemericik air kran ikut jua membaur. Bukan berarti membuat indra pendengarku tak dapat menangkap jelas. Bahkan, dengan memilih membangkitkan tubuh cepat. Kini, kakiku sudah bergegas menghampirinya.
Masa trimester pertama yang dialaminya, memang tak asing menjadikan kontraksi itu datang secara tiba-tiba. Membuatku pun tak segan mengusap punggungnya pelan. Hingga setelah kondisinya jauh membaik. Perlahan, ku gerakkan tanganku menuntunnya terduduk di kursi kayu. Tak lupa jua, menyodorkannya segelas air hangat.
Begitu juga dengan Mbak Liya. Terlihat, dengan antusiasnya tangannya terulur mengambil alih gelas dalam genggamanku. Meneguknya perlahan.
Entah mengapa, mendapati keadaannya demikian. Menjadikanku benar-benar tak bisa membayangkan jika hal serupa terjadi padaku.
"Sepertinya masa mengidam jauh lebih meletihkan ya, Mbak? Berbanding terbalik jika menghadapi sikap, Bang Rafka," ucapku, sembari menjatuhkan tubuhku terduduk di kursi sampingnya. Membuatnya yang menghentikan aktivitas meminumnya pun, beralih menatapku, diiringi senyum dari balik niqobnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
General Fiction•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019