Pagi ini langit membentang begitu indah. Warna biru berpadu putih membuat burung-burung menari dengan eloknya. Tidak seperti kemarin, yang hampir seharian di guyur hujan.
Semerbak wangi bunga begitu menyeruak. Bahkan, karena menyeruak nya, kini mampu mengalahkan wangi parfum pada pakaian ku.
Rumah yang tidak begitu besar. Namun, di kelilingi bermacam-macam bunga. Kendaraan pun hanya satu, dua yang melintas. Menjadikan kesan asri benar-benar tercipta.
Terlebih, saat aroma teh melati ikut jua berpadu menyusup ke dalam rongga hidungku. Entah mengapa, seakan mampu memberikan kesegaran tersendiri dalam pikiran ku.
Ah! Dari baunya saja sudah nikmat, bagaimana jika aku meminumnya? Aku benar-benar tak sabar ingin sekali menyesapnya.
Semakin menyengat. Aku bisa merasakan, aroma teh itu kian menguar bersamaan derap langkah yang tercipta. Hingga setelah sosok itu berada di sampingku dengan kedua tangan yang menggenggam nampan berisikan dua gelas teh hangat. Bibirku kian melengkung paksa menatapnya.
Benar. Meskipun peristiwa semalam sudah berlalu. Rasanya, sampai saat ini aku tak dapat melupakannya begitu saja.
"Silahkan kau minum Kay. Agar hati kau kembali tenang."
Seakan mampu membuyarkan lamunanku begitu saja. Setelah mengangguk pelan. Perlahan, ku raih gelas putih susu itu yang sudah diletakkannya di meja, kemudian dengan pelan, aku pun mulai menyeruputnya. Menikmati setiap tetes air yang membasahi tenggorokanku. Ah benar-benar nikmat.
Sementara bersamaan itu. Terlihat, gadis berhijab hijau itu jua mulai mendaratkan tubuhnya. Terduduk di kursi rotan yang berjarak satu meter dariku. Dengan bagian tengahnya tersekat sebuah meja.
"Beberapa hari ke depan, sepertinya aku akan tinggal bersama Ibuku untuk sementara waktu," ucapku, sembari meletakkan gelas putih susu itu kembali pada tempat semula.
"Aku akan selalu mendukung keputusan kau, Kay. Tidak baik juga, jika terus berlarut-larut dalam kesedihan."
Menarik nafas, lantas menghembuskannya pelan. Aku memilih membenarkan kalimat tersebut. Memang benar. Akan jauh tidak begitu baik, jika aku harus berlarut-larut dalam kesedihan. Mencintai harus bisa mengikhlaskan, walau luka itu sendiri sebesar lautan.
Sebelumnya aku memang sudah menceritakan peristiwa semalam yang menimpaku kepada Sasa. Dia adalah sahabatku satu-satunya. Memiliki wajah bulat serta kulit kuning langsat. Terjalinnya persahabatan aku dengan Sasa memang cukup mudah, hanya karena kita perantara satu kajian agama.
Namun, sayang. Di usianya yang masih muda, Sasa harus kehilangan orang tuanya. Keduanya mengalami kecelakaan pesawat, saat hendak pergi ke Malaysia untuk memeriksa pembangunan proyek perusahaan yang sempat tertunda.
Sementara untuk siapa yang memegang alih perusahaan setelahnya, tak lain adalah pamannya. Dan untuk Sasa—tentu saja, dirinya lebih memilih menggeluti profesinya sebagai guru agama. Mudah saja alasannya. Apalagi, jika itu bukan salah satu cita-citanya semenjak kecil.
"Jika memang Izhar adalah lelaki yang tertulis di lauhul mahfuz untuk kau. In syaa Allah, Allah akan menyatukan kau dengannya."
Tersenyum miris. Tak henti, tanganku kian meremas kuat. Selain perkataannya yang kembali menghadirkan kata patah. Entah mengapa, rasanya aku benar-benar tak menyangka, jika Izhar akan berbuat hal demikian padaku. Hingga tanpa aku sadari, kalimat itu kian terlontar begitu saja dari mulutku.
"Aku tak ingin Izhar yang menjadi imamku kelak. Hatiku sudah terlanjur dibuat patah karenanya."
"Hmm. Terserah kau saja, Kay."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
Fiksi Umum•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019