Brukkk
Meski pening mulai menggelayuti, karena sesuatu yang menghantam kepalaku tiba-tiba. Namun, tak lepas membuatku setelahnya mengangkat wajah.
Dan—seakan menjadikan detak jantungku berhenti bekerja. Bahkan, netraku kian tak segan beradu dengannya. Hingga setelah menyadari siapa sosoknya. Dengan cepat, aku pun menjauhkan tubuhku.
Berusaha menahan gemuruh kencang yang ada. Kini, dengan wajah yang merunduk. Semakin kuat, ku gerakkan tanganku mencengkram kresek dalam genggamanku.
Bukannya bagaimana. Selain tragedi itu masih menyisakan shock yang ada. Rasanya, aku sangat sulit mempercayai akan tindakannya yang berniat menolongku, justru berakhir membuatku terperangkap dalam dekapannya.
"Maaf, Nona. Aku tidak bermaksud mengambil kesempatan dalam kegentingan yang ada."
Menarik nafas, lantas menghembuskannya pelan. Perlahan, aku mengangkat wajahku.
Jika sebelumnya, percaya itu tak terbesit dihatiku. Namun, entah mengapa, mendapativkejujuran yang tersirat di netranya. Sepertinya membuatku tak ada salahnya untuk memilih mempercayainya.
Bukankah karena pertolongannya jua, menjadikanku selamat dari tragedi yang menyedihkan?
"Ini bukan kesalahan, Tuan. Namun, karena saya yang terlalu ceroboh," ucapku, membuat keterdiaman menyelimutinya.
Sementara ditengah tatapan itu yang justru semakin intens menatapku. Tak memungkiri, membuat ketakutan itu seakan mendominasiku. Hingga setelah menarik nafas. Perlahan, ku gerakkan bibirku.
Benar. Sebelum sesuatu buruk itu terjadi. Setidaknya, aku harus beranjak pergi meninggalkannya.
"Jika begitu, saya izin pergi, Tuan. Terimakasih atas bantuannya dan semoga Allah selalu melindungi, Tuan."
Tak sedikit pun berniat menunggu persetujuan darinya. Dengan cepat, ku gerakkan kaki ku melangkah. Namun, sepertinya dugaanku di awal memang benar adanya. Bahkan, dengan suara itu membelah. Aku bisa merasakan, derap kaki itu tak henti mengekori ku.
"Nona, tunggu!"
Memilih enggan mengubrisnya. Semakin cepat, aku pun melangkahkan kaki ku. Namun, entah, apa yang sebenarnya pria itu inginkan. Bahkan, denganku yang memilih berlari kecil. Nyatanya, kaki jenjangnya justru mampu menyamaiku.
"A... ada apa, Tuan? Saya tidak memiliki waktu."
Tak sedikit pun berniat menghentikan langkah. Sesekali, ku gerakkan netraku menatapnya.
Entah mengapa, mendapati sikapnya yang demikian, menjadikan persepsiku semula padanya kian berganti akan kewaspadaan yang tercipta.
Selain bisa saja dirinya yang menjadi dalang atas tragedi yang terjadi. Bisa jadi bukan dirinya akan memanfaatkanku sebagai balas budi jasa yang diberikannya?
"Nona kemari tidak berkendara?"
"Saya menggunakan taksi."
Meski berakhir merutuki kalimat yang ada. Namun, tak lepas membuatku menghentikan langkah. Tidak, Allah! Mengapa aku harus berkata demikian?
"Izinkan aku mengantarmu, Nona."
Dan tepat, saat kalimat itu terlontar. Kini, bukan hanya menjadikan langkahku dibuat berhenti, melainkan tatapanku tak segan beradu dengannya. Tunggu. Apa maksudnya?
"Ah tidak! Begini maksudku. Aku Brama, salah satu teman Davin. Suami, Nona."
Lagi. Kembali menatapnya tak percaya. Bahkan, otakku tak segan berpikir keras. Mencerna maksudnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
Ficción General•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019