51-Izhar?

18 2 0
                                    

Ditengah menghitung satu jengkal mobil tersebut berhasil merenggut nyawaku, sebuah sentakan kasar kian lebih dulu menyambut tubuhku hingga terhuyung ke belakang.

Dan tepat, bersamaan denganku yang dibuat terhempas. Dentuman hebat kian terdengar tak kalah memekakan.

Meski rasa pening menggelayuti. Namun, tak lepas mengurangi ruang sadar ku, saat mendapati sosoknya  terbujur dengan darah bersimbah.

Seakan menjadikan detak jantungku dibuat berhenti. Bahkan, kala menyadari siapa sosoknya. Tak segan, membuat air mataku kian berakhir luruh.

"IZHARRR."

Dengan membangkitkan tubuh cepat, ku gerakkan kaki ku menghampirinya. Bahkan, bersamaan dengan tak kalah keterkejutan adanya, sesosok pria yang semula hanya berdiam mematung disamping mobilnya. Tak segan ikut jua bergegas, berdiri disamping ku. Begitu pun setelahnya, disusul beberapa dari mereka.

Bak menjadikan sel-sel tubuhku dibuat meluruh. Kini, aku bisa merasakan perih itu kian semakin menjalar di hatiku.

Dia, Allah... mengapa harus dia yang justru menanggung atas segalanya?

Menyadari hadirnya yang berada disampingku. Tak kalah jua, aku pun memohon bantuan padanya. Entah mengapa, rasanya tak lagi ada yang aku lakukan saat ini, selain keselamatannya. Bahkan, sekalipun Davin beranggapan buruk padaku, aku jauh lebih menerimanya, Allah...

"Mas. Izhar, Mas..."

Meski sesaat hanya ada hening yang melanda. Namun, setelahnya—dengan kalimat itu terlontar. Tak membohongi, membuat kelegaan tersendiri dihatiku. 

"Saya mohon bantuan kalian semua,  untuk membawa korban ke dalam mobil yang berada di sebrang jalan."

"Saya dan istri saya akan melarikannya ke rumah sakit terdekat."

Dan tak membutuhkan waktu lama. Kini, dengan bantuan beberapa dari mereka. Aku dan Davin pun bergegas menuju rumah sakit terdekat.

💔💔💔

Dengan menatap sendu ruangan bernuansa kaca itu. Tak henti, hatiku kian merapalkan do'a, memohon keselamatan pada-Nya.

Seusai tiba di rumah sakit. Tak memungkiri, jika Izhar langsung mendapati kesiapan tanggap dari pihak medis. Dan entah mengapa, mengingat satu jam lamanya terlewati tanpa kunjung adanya kabar. Rasanya, membuat ketakutan itu semakin mendominasiku.

Benar. Jika saja aku tak dapat lebih ceroboh, mungkin tragedi pahit ini tak akan terjadi. Bahkan, dengan Davin—yang meskipun sedikit kepedulian itu terbesit adanya, ia pun justru lebih mengikis jarak denganku.

Menyadari butiran bening itu kian luruh. Dengan cepat, aku pun menyekanya. Dua sosok, Allah. Dua sosok yang telah menciptakan warna dihidupku. Nyatanya, aku justru menuai hujan pada keduanya. Dan, apakah permohonan maaf itu masih terbesit untukku?

"Apa yang sebenarnya terjadi, Vin?"

"Adikku, dia baik-baik saja, bukan?"

Seakan bukan lagi membuat tanganku mengepal kuat. Bahkan, dengan tak lepas memandanginya. Aku bisa merasakan, hawa panas kian semakin mendominasiku.

Ya. itu tak lain adalah dokter Nadia. Dan entah mengapa, mendapati kedekatannya yang demikian juga keterdiaman Davin. Tak memungkiri, membuat rasa sesak itu semakin menjalar dihatiku.

Bersamaan dengan Izhar yang mendapati penanganan. Aku memang tak sengaja, menangkap perbincangannya dengan seseorang melalui sebrang telepon.

Lagi. Sempat ku kira itu tak lain teman se-profesinya. Nyatanya, memang benar adanya. Hanya saja dengan kehadiran dokter Nadia, yang jauh diluar dugaan. Membuat keyakinanku bertambah kuat, bahwa Davin memang sudah mengetahui perihal semuanya.

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang