Sayup-sayup mentari kian memancar di sepanjang jalan kota. Seperti biasa, setelah dibuat menikmati hari weekend. Kini, semuanya telah kembali pada aktivitas semula. Begitu juga denganku. Yang tak lupa, menerapkan kebiasan untuk mengantarkannya bekal makan siang.
Dan tak menunggu lama. Senyumku sudah dibuat merekah, saat mobil yang aku tunggangi berhenti tepat di area gedung megah nuansa putih itu. Hingga setelah memberikan beberapa lembar uang. Tak lupa, mengucap kata terimakasih. Ku langkahkan kakiku menyusuri jalanan.
Semenjak mendapati dua kebahagiaan itu. Tak bisa membohongi, untuk kupu-kupu itu tiada henti berterbangan. Bahkan, karena begitu terlampaunya. Menjadikan bibirku tiada henti mengembang.
Namun, hal itu tak berangsur lama, saat netraku tak sengaja menangkap sesosok wanita, yang dengan anggunnya berjalan dari arah yang berlawanan. Membuatku pun yang menyadarinya sontak menghentikan langkah.
Meski sesaat dibuat tertegun. Namun, tak mengurangi kadar irama jantungku yang kian memacu lebih cepat, saat tatapan itu berakhir beradu denganku.
Seakan mampu menarik ingatanku mundur. Bahkan, netranya yang menyala, tak segan menjadikan tragedi itu berputar kembali di otakku. Hingga seiring langkahnya mendekat. Dengan ragu, aku pun memundurkan tubuhku.
Benar. Itu tak lain adalah dokter Nadia. Setelah peristiwa tersebut, aku memang tak pernah melihat tanda hadirnya. Tapi, sekarang—
"Ikut aku!"
Belum sampai aku menghindarinya. Kini, aku justru dibuat kalah bertindak, karena tangannya yang kian lebih dulu bergerak mencekal pergelangan tangan kiriku.
Sembari menahan untuk tidak meringis. Sebisa mungkin ku gerakkan kakiku mengikuti derap langkahnya. Hingga tiba di sebuah tempat, yang juga tentunya jarang dilalui kebanyakan. Aku bisa merasakan, sentakan tangannya melepas kasar cekalan tersebut.
"Aku tak menyangka, ternyata mulutmu jauh melebihi ular berbisa."
Lagi. Belum sampai perih itu dibuat sirna. Kini, aku bisa merasakan sesuatu hangat lebih dahulu mendarat cepat di pipi kiriku.
Plakkk
"Kamu wanita yang begitu munafik."
Deggg
Membelalak tak percaya. Bahkan, tanpa aku mengetahui alasannya berlaku demikian. Tatapanku kian sudah ikut dibuat memanas, saat dengan menghitung centi tamparan itu kian hendak kembali menyentuh pipiku.
Namun, karena sebuah tangan kekar lebih dulu menahannya. Menjadikan pergerakan tangannya pun berhenti, menggantung di udara.
"Da... vin?"
Dan benar saja. Dengan berusaha menahan luapan amarahnya. Terlihat, sosoknya sudah berada disampingku.
"Apa yang ingin kamu lakukan kepada istriku?!"
Bak menjadikan jantungku berhenti berdetak. Meski hadirnya menjadi kelegaan tersendiri untukku. Namun, tak bisa membohongi jika ketakutan akan sesuatu hebat terjadi terus mengikis hatiku. Terlebih, saat tatapan tajamnya sempat dibuat mengarah padaku. Entah mengapa, aku semakin merasa, jika ini bukan lagi menyangkut perihal tragedi lalu. Tapi—
"Aku mohon, menjauhlah darinya! Dia wanita yang begitu munafik."
Deggg
Menelan saliva kasar. Bahkan, paper bag dalam genggamanku kini tak segan berakhir luruh begitu saja. Tidak! Mengapa dalam hal ini dirinya lah yang seolah tersakiti? Dan air mata itu—
"Dia hanya menjadikanmu sebagai pelarian, bukan sebenarnya menjadikanmu sesosok suami."
Jika sebelumnya semilir angin berperan memberikan nuansa damai. Namun, kali ini hawa panas justru tak segan mendominasi. Tak hanya itu, aku pun bisa merasakan butiran bening kian sudah mengganjal di kelopak mataku. Tunggu! Apakah maksudnya? Apakah dirinya—
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
General Fiction•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019