Setelah sambungan diputus sepihak, tak segan aku melempar kasar ponselku di sofa.
"Mengapa? Mengapa harus seperti ini?"
Semakin mengepal kuat, tatapanku kini sudah berubah memanas. Hingga tak mampu lagi menahan luapan amarah yang ada, satu pukulan kian berhasil mendarat pada meja berlapiskan kaca itu.
Retak
Bahkan, tanpa sebanding dengan rasa sakit yang mengganjal. Terlihat, retakan garis itu kian nampak tercipta.
"Arrgghhhh."
Dengan mencengkram kasar rambut hitam ku. Nafasku sudah dibuat memburu. Tidak! Bukannya apa. Hanya saja, mengapa masalah ini datang bertubi?
Ya. Baru saja hatiku dibuat patah karenanya. Dan sekarang—aku harus mendapati kabar jika proyek ku mengalami kendala, karena kaki tanganku yang membawa semua upah pekerja.
Sebelum menikah dengannya, pembangunan ini memang sudah berjalan setengahnya. Namun, aku sengaja memilih tak memberitahunya. Apalagi, jika bukan ingin menjadikan sebuah kejutan untuknya. Dan hari ini, entah mengapa, semuanya justru berbanding jauh dari ekspetasiku.
Krettt
Menyadari suara daun pintu itu terbuka, menampilkan sosoknya. Dengan cepat, aku pun mengusap kasar wajahku yang dipenuhi keringat itu. Lantas, tanpa mempedulikan posisinya yang sudah berada di depanku. Kini, aku memilih mengalihkan pandanganku.
Jika sebelumnya, hanya ada cinta untuknya. Entah mengapa, kali ini hatiku seperti dipenuhi ribuan duri. Lagi, walau sekedar menatapnya, rasanya benar-benar begitu menyesakkan.
"Kay kemari... membawakan sarapan dan juga obat untuk Mas Davin."
Menarik nafas pelan, tanganku sudah kembali mengepal kuat. Bahkan, aku pun semakin dibuat tak mengerti akan keinginan sebenarnya.
Bagaimana bisa dirinya menjalani pernikahan ini diatas rasa cintanya kepada lelaki lain? Dan memilih menjadikan kepeduliannya sebagai bukti bahwa hatinya dapat diperuntukkan untukku?
Tunggu. Bukankah itu munafik?
"Aku tidak lapar. Simpan saja!"
"Tapi Mas, demam Mas Davin cukup ti—"
"AKU BERKATA TIDAK YA TIDAK!!"
Karena tak mampu lagi membendung amarah yang tersisa, sontak kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku.
Kini, dengan gemuruh kencang yang mulai menghantam. Bahkan, rasa penyesalan dan benci kian membaur menjadi satu di hatiku.
Sebenarnya aku pun tak berniat melakukan hal ini padanya, tapi—
"Mas Davin—"
Semakin mengepal kuat, nafasku sudah tak lagi beraturan. Sementara disisi lain, entah mengapa, lidahku seperti begitu kelu walau sekedar mengucap permohonan maaf.
Benar. Rasanya terlalu naif jika kata benci itu tak lagi terbesit di hatiku, sekalipun ketakutan dan kepeduliannya masih tetap diperlihatkannya.
Dengan getar tubuh yang tak kalah hebat. Terlihat, kakinya melangkah maju, kemudian meletakkan asal nampan yang semula dibawanya beralih diturunkannya di meja.
Sementara dengan aku yang berusaha menahan sesak. Bersiap meluncurkan permohonan maaf. Ia justru lebih dulu menghilang dari pandanganku. Menjadikan penyesalan itu benar-benar mendominasiku.
"Argghhh."
💔💔💔
Tak berhenti menyeka air mata yang berjatuhan, kaki ku terus dibiarkan berlari. Hingga tiba pada ruangan yang tak lain sebuah dapur, aku memilih menghempaskan tubuhku di salah satu kursi kayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
General Fiction•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019