Menatap hampa tasbih pemberiannya. Kini, tanpa aku sadari butiran bening itu luruh begitu saja.
Sungguh, Allah... rasanya aku benar- benar tak menyangka, jika sempat ku kira ini akan menjadi akhir segalanya. Nyatanya, Kau justru memilih menuntunku pada badai pertemuan yang tak pernah aku harapkan.
Dia, telah kembali. Tapi, mengapa—janjinya harus ter-utarakan, disaat aku sendiri telah memantapkan hatiku padanya?
Ceklekk
Menyeka air mata cepat. Ku gerakkan tanganku memasukkan kembali tasbih yang semula ku genggam pada laci dihadapanku. Hingga bersamaan dengan daun pintu terbuka, aku pun beranjak bangkit dari kursi, menghampirinya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," balasku, lantas tak lupa untuk mengecup punggung tangan kanannya.
"Mengapa tidak menemuiku?"
Meski sesaat dibuat tertegun akan perkataannya. Namun, tak lepas membuat otakku kian berpikir keras, setelah menyadari maksud tersirat di dalamnya.
"I... Ibu datang berkunjung, Mas."
Sedikit mengangkat sudut bibir. Kini, tanganku sudah mengepal kuat. Berusaha menahan gemuruh kencang yang ada.
Tidak, Allah! Meskipun pernyataan ini benar adanya. Karena mengingat ditengah pertemuan itu, Ibu jua memberikan kabar hendak berkunjung. Tak memungkiri, untuk rasa takut itu benar-benar menyelimutiku.
Terlebih, dengan tatapannya yang berubah menyelidik. Seolah memang bukan lagi menyiratkan rasa tak cukup puas dalam netranya, melainkan curiga adanya. Membuatku sebisa mungkin menggerakkan bibirku.
"Zahra sempat ingin memberitahukan Mas, untuk tidak dapat menepati janji Zahra. Namun, baterai ponsel Zahra habis."
Masih tak lepas menatapnya. Tanganku kian sudah berganti meremas kuat gamisku.
Tentu. Aku sangat tahu, Allah. Jika kebohongan yang aku lakukan jauh tak dibenarkan adanya. Bahkan, dalam waktu singkat maupun lambat, aku yang justru memilih tak sedikit pun berbagi kisah lalu ku padanya akan dapat terungkap. Tapi—
"Tidak apa. Lain kali saja."
Meski dibuat bernafas lega. Tak dapat memungkiri, untuk rasa bersalah itu kian juga terbesit dihatiku, saat tubuhnya berakhirnya melenggang pergi.
Pasalnya bukannya bagaimana. Dengan kebiasaan dirinya yang akan lebih dulu menuntunku dalam pembicaraan rindunya atau sekedar mendaratkan kecupan hangat di area wajahku. Kini, jauh berbanding terbalik, jika hening justru berganti melanda. Membuatku yang tak berpikir panjang pun memilih menghampirinya, yang juga tengah membuka lemari kayu.
"Mas, tidak ingin mengisi lapar terlebih dahulu?" tanyaku, mengingat setiap kedatangannya dirinya memang selalu mengutamakan laparnya.
Namun, Davin—seolah menjadikan kekecewaan itu memang benar adanya. Terlihat, pandangannya justru semakin dibuat beredar pada tumpukan pakaian di dalamnya.
Apakah sebegitu kecewanya padaku?
Sedikit tersentak. Bahkan, bukan hanya menjadikan ruang saḍarku dibuat kembali. Melainkan, tubuhku kian refleks bergeser sudah, saat pergerakan tangannya yang tanpa aba- aba menutup daun pintu lemari.
"Aku tidak lapar."
Deggg
Meski kembali dibuat tertegun. Namun, tak lepas membuat bibirku bergerak. Berusaha menyangkalnya.
"Ta... tapi, Mas, Zahra sudah menyiapkan menu kesukaan, Mas."
Lagi. Bukannya membalas perkataanku. Kini, sembari kedua tangan menekan daun pintu lemari juga handuk yang tak lupa menyampir di bahunya, keterdiaman justru kembali menyelimutinya. Hingga tatapannya berakhir beradu denganku. Tak segan, aku pun mengepal tangan kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
Художественная проза•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019