Suara adzan shubuh kian menggema begitu lantang. Bahkan, tak segan membuat kelopak mata gadis itu perlahan terbuka sempurna.
Di tengah rasa pusing yang menggelayutinya. Tak henti, ia berusaha menyesuaikan cahaya yang terpantul pada netra cokelatnya. Hingga setelahnya, ia pun lantas menjadikan tangan kanannya sebagai sanggahan untuk membangkitkan tubuhnya.
Namun, belum sampai terduduk sempurna. Tatapannya kini sudah lebih dulu menangkap patrian wajah dengan kedua mata terkatup.
Menelan Saliva kasar, aku berusaha menetralisir detak jantungku. Seakan memori itu kembali berkelibatan di otakku. Aku begitu ingat, bagaimana hadirnya yang sudah seperti malaikat penolongku.
Karena aku yang begitu phobia akan kegelapan. Menjadikanku tak pernah absen meletakkan alternatif senter di samping tempat tidurku. Namun, karena rasa khawatir dan takut itu berbaur menjadi satu, justru berakhir membuatku lupa akan kebiasaanku.
Entah. Aku pun tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi padaku. Mungkinkah hatiku sudah bisa diperuntukkannya? Tapi, Izhar—rasanya terlalu munafik jika cinta itu tak lagi terbesit untuknya.
"Sudah bangun?"
Meski sedikit tersentak. Namun dengan cepat, aku pun memundurkan tubuhku. Memposisikannya terduduk tegak.
Sementara Davin, ia nampak masih menyesuaikan cahaya yang terpantul dengan gerakan tangan yang juga memijit keningnya. Mungkin benar, jika rasa pening telah juga menggelayutinya.
Memilih merundukkan wajah, tak henti tanganku memilin gamisku. Setidaknya, dengan melakukan hal ini dapat mengurangi sedikit rasa gugup ku.
Hawa dingin Ac yang semula menusuk kulit kian berganti menjadi hawa panas yang mendominasi. Bahkan, jantungku sudah bergemuruh kencang, saat gerakan tubuhnya berganti dimajukan menjadi lebih sejajar dihadapanku.
Meski tak mendapati wajah jelasnya. Namun, dengan keheningan yang melanda cukup menjadikan getaran hebat itu kembali mengguncang tubuhku.
"Kayla."
Menelan saliva kasar, kini gerakan tanganku sudah dibuat berhenti. Meski sedikit tertegun, sebisa mungkin aku menggerakkan bibirku.
"I... iya, Mas."
"Mengapa tidak memberitahuku, jika mengunjungi Bogor?" lirihnya, namun tak lepas membuat tubuhku bak menegang.
Tidak! Bukannya aku ingin berlaku demikian padanya. Hanya saja, jika pun aku memberitahunya, ia tak akan mengizinkanku.
"Maaf, Mas."
Berakhir menggigit bibir. Dua kata itu berhasil meluncur begitu saja. Menjadikan keheningan kian melanda beberapa detik. Hingga tak lama, setelah helaan nafasnya terdengar memecah. Aku bisa merasakan energi hangatnya menyentuh tangan kiriku.
"Ada masalah?"
Seakan menjadikan netra cokelatku bertambah memanas. Dengan tangan kanan yang sudah mengepal, aku berusaha menahan rasa sesak yang menjalar.
Benar. Rasanya terlalu naif jika ketakutan itu tak lagi terbesit. Bahkan, meski sejauh apapun aku melangkah pergi. Nyatanya, bayangan itu tak henti merasuk otakku.
Aku memang begitu membenci kata poligami. Tapi, apakah hal ini masih berlaku untuk pernikahan yang sama sekali tak aku harapkan?
"Shubuh dulu, ya? Agar hatimu jauh lebih tenang," tambahnya, dengan kedua tangan menangkup di wajahku, hingga berakhir membuat tatapan kami saling beradu.
Berusaha menahan gemuruh kencang yang ada. Tak henti, tanganku bergerak memilin gamisku. Bibirnya yang tersenyum tipis dipadu hidung bak perosotan, serta kulit putih dan alis sedikit tebal. Tak lupa, dilengkapi bulu-bulu halus di rahangnya. Menjadikan ketampanannya kini terlihat lebih natural, meski tanpa cream wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
General Fiction•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019