07-Bukan Sebatas Ilusi

53 14 0
                                    

"I z h a r."

Bagai tertusuk pedang kala itu. Perih. Hatiku begitu perih Allah. Tidakkah ia mengingat janjinya dahulu? Yang ingin menjadi lelaki pertama mengkhitbahku?

Oh Allah...

Mengapa Kau karuniakan aku wanita yang begitu bodoh akan cinta?
Jika memang tujuannya ingin mempermainkan seorang wanita, lantas mengapa harus aku yang menjadi korbannya?

Tesss

Tanpa aku sadari, kini satu tetes butiran bening berhasil luruh membasahi wajahku. Mendapati tatapannya yang menjurus mengarahku, juga senyumnya yang merekah, membuat rasa sesak itu bak menjalar di dadaku. Bahkan, tanpa mempedulikan rasa sakitku ia justru dengan mantapnya mengucap akad dihadapanku.

Ya, akad yang bukan diperuntukkan untukku, wanita yang 'pernah patah' dalam mencintainya.

"Ada apa, Kay? Kau... kau menangis?"

Seakan mampu menarikku keluar dari dimensi lain. Kini, suara dan sentuhan dibahuku bak menjadikan ruang sadarku kembali. Innalillah ternyata itu hanya ilusiku saja.

Setelah menyadari apa yang baru saja terjadi. Dengan cepat, aku menyeka butiran bening itu. Berusaha bersikap tenang seperti biasanya, berharap tak ada kecurigaan yang menyelimutinya.

"Ah tidak! A... aku hanya membayangkan bagaimana jika pernikahan ini terjadi padaku," alibiku, diiringi lengkungan tipis.

"Lantas, pertanyaan yang hendak kau ajukan...?"

Sedikit, kedua alisnya dibuat terangkat. Sepertinya ia pun sudah tak mempermasalahkan peristiwa beberapa detik yang lalu. Namun, perkataannya—entah mengapa, seolah menyimpan  penasaran di dalamnya.

Kembali, aku dibuat berpikir sejenak. Apakah ada benarnya mempertanyakan perihal Izhar padanya, Allah?

Bak slide dalam layar lebar. Bayangan dimana dirinya berjalan dengan melati yang mengalung di lehernya, juga senyum merekahnya saat mengucap akad dihadapanku. Membuat keraguan untuk mengutarakannya seperti mengikis begitu saja.

Ya. Sebelum kenyataan pahit itu terjadi, alangkah baiknya aku mempertanyakan perihal ia padanya.

"A... aku..."

Dengan menelan saliva kasar, wajahku kian merunduk. Mencengkram erat tasbih itu. Entah mengapa, Allah... rasanya lidahku begitu kelu untuk sekedar mengatakannya. Bahkan, meski ruangan ini bernuansa megah saja, seperti membuatku kehilangan pemasok oksigen. 

Sejenak, aku menarik nafasku. Hingga dirasa oksigen yang ku hirup lebih dari kata cukup. Perlahan, aku pun menghembuskannya. Lantas, tak lupa jua setelah menggerakkan bibir, aku mengucap basmalah sebagai tanda penguat hatiku.

"Aku..."

"Lihat, Kay! Pengantin pria sudah tiba."

"Tak ada momen paling indah. Aku akan mengabadikannya dalam ponselku."

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, suara hebohnya kini kembali berdenging di telingaku. Lagi, dengan teriakan histeris lainnya yang ikut berpadu. Tak ayal, membuatku sontak mengangkat wajahku.

Cekrekkk

Tepat bersamaan dengan munculnya kilatan kamera ponsel. Aku bisa merasakan, tubuhku bak tersambar petir kala itu. Tak hanya itu, tulang-tulang yang menjadi penopang tubuhku, kini seakan dibuat meluruh satu per satu.

"I z h a r."

Deggg

Layaknya ingatanku dibuat mundur pada peristiwa beberapa menit yang lalu. Bahkan, otakku tak segan mencerna setiap inci peristiwa yang terjadi.

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang