15-Permintaan

36 10 0
                                    

Davin Pov

Dengan pandangan mengarah lurus ke depan, sesekali aku melirik jam yang melingkar pada pergelangan tanganku.

Pkl. 00:40 wib.

Itu berarti sudah hampir empat jam lamanya aku meninggalkan wanita itu. Dan jika saja kecelakaan beruntun itu tak terjadi hingga berakhir menelan banyak korban, mungkin aku sudah menggunakan waktu itu untuk mengenalnya lebih dekat.

Namun, aku juga tak bisa memungkiri, jika aku pun tak bisa egois dengan profesiku saat ini. Dimana menyelamatkan nyawa manusia adalah tugas yang mesti aku emban. Dan sepertinya, untuk Kayla sendiri pun ia nampak tak keberatan dengan hal itu.

Berbicara perihal dirinya, entah mengapa jadi semakin membuatku merindukannya.

Apa yang sedang dilakukannya saat ini? Masih menungguku kah? Atau sudah terlelap bersama alam mimpinya?

Cittt

Sial lampu merah!

Dengan menghembuskan nafas kasar, aku memijit keningku yang mulai terasa pening. Sesekali juga, aku mengamati tiang yang berdiri di depanku.

Meski lalu lalang kendaraan malam ini terlihat renggang. Namun, rasanya cukup lama bagiku untuk menunggu lampu merah itu meredup.

Tidak! Bukankah aku sudah terbiasa dengan hal ini? Lantas, mengapa aku menjadi tidak sabar seperti ini?

Menggeleng pelan, aku berusaha menghentikan otakku yang mulai terkontaminasi oleh wajahnya.

Baiklah! Kayla, Kayla sepertinya kau hobi sekali membuatku menjadi gila.

Setelah menyadari lampu kembali berganti hijau, dengan cepat aku melajukan mobilku.

***

Tak sampai memakan waktu enam puluh menit. Kini, bibirku sudah kembali dibuat tersenyum merekah.

Mendapati daun pintu berwarna cokelat dihadapanku. Benar. Rasanya seakan seperti mimpi. Bahkan, sempat ingin menyangkalnya pun, nyatanya takdir justru menyatukanku dengannya.

Hingga dengan menarik nafas, perlahan aku mulai memasukkan kunci yang sempat diberikannya sebelum aku pergi.

Krettt

"Assalamu'alaikum."

Hening.

Seperti tak ada tanda-tanda sang pemilik kamar, membuat netra cokelatku kian beralih mengarah sudut kamar.

Dan benar saja, ia sudah terlelap bersama alam mimpinya.

Tak ingin mengganggu tidur nyenyaknya. Setelah dimana aku kembali mengunci daun pintu itu, dengan langkah hati-hati aku pun mulai menghampirinya.

Guratan wajahnya yang tetap indah meski terbalut selimut, tak bisa membuat bibirku untuk tidak berhenti tersenyum memandanginya.

Bahkan, tanganku kini sudah terulur menyentuh puncak kepalanya, sebelum dimana bayang wajahnya yang dipenuhi air mata berhasil membuat senyumku mengendur.

"Aku tahu, pasti ini sangat sulit untukmu menerima kenyataan ini, Kayla."

Entah mengapa, semenjak pernikahan itu aku merasa, bahwa Kayla tidak benar-benar mengharapkan pernikahan ini terjadi.

Terlebih, saat kata maaf itu berbaur dengan getaran tubuhnya. Membuatku semakin yakin, jika memang aku hanyalah lelaki kesekian dari banyaknya kaum adam.

"Jika memang benar, aku bukanlah lelaki pertama maupun kedua yang mengetuk pintu rumahmu. Setidaknya, izinkan aku untuk bisa menjadi lelaki terakhir dalam kisah hidupmu, ya zaujati."

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang