Setelah memakan waktu tempuh tiga puluh menit. Kini, mobil yang aku tunggangi sudah berhenti tepat di area Cafe nuansa klasik.
Meski sejenak dibuat termenung, karena tak mendapati tanda adanya kehidupan seperti pesta kebanyakan. Namun, bukan berarti mengurangi rasa kagum ku begitu saja.
Furniture yang hampir keseluruhan berjenis kayu, dengan paduan pilar berbahan beton—menjadikannya terlihat jauh lebih kokoh. Tak hanya itu, beberapa lampion pun turut andil menggantung mengelilinginya. Seolah memberikan kesan stylish bagi siapa saja yang melihatnya.
"Mas, apakah benar—"
Belum sampai aku menyelesaikan kalimatku. Kini, dahiku sudah dibuat berkerut saat tatapanku lebih dulu tak menangkap sosoknya disampingku.
"Kayla."
Menyadari panggilan tersebut. Dengan cepat, aku pun mengalihkan pandanganku.
Dan benar saja. Sembari tersenyum tipis, tubuh tegapnya nampak sudah berdiri di sisi pintu mobil yang terbuka. Tak lupa, dengan tangan kirinya masih setia mencengkram pada bagian handle.
Mengerti akan maksud anggukkan kecil yang diberikannya. Dengan ragu, aku pun mulai menuruni kakiku—menapak jalanan yang masih bertekstur tanah itu.
Tak henti, aku mengedarkan pandangan sekitar. Bahkan, selain tak mendapati adanya kendaraan lain yang terparkir. Sepertinya, ini akan menjadi kali pertama aku mengunjungi tempat asing tersebut. Karena mengingat dari sekian banyak Cafe, Bang Rafka memang tak pernah membawaku kemari.
"Apakah benar, jika pestanya diadakan di tempat ini, Mas?" ucapku, lantas beralih menatapnya yang juga tengah menatapku.
Meski berakhir menggigit bibir. Sebisa mungkin aku berusaha menetralisir irama jantungku, saat lengkungan tipis ikut terukir di bibirnya.
Lagi. Bukannya membalas akan pertanyaanku. Kini, tangan kirinya justru dibuat terulur di depan wajahku. Membuatku pun hanya bisa meremas gamisku.
"Ayo."
Memilih diam tak mengubrisnya, wajahku sudah dibuat merunduk. Tidak! Bukannya aku ingin menolaknya. Hanya saja, rasa takut akan peristiwa lalu terulang kembali, tak dapat aku bohongi jika itu benar adanya.
Namun, Davin—seolah ia pun mengetahui akan yang aku pikirkan. Kini, dengan gerak tangan kirinya, aku bisa merasakan sentuhannya kian meraih tanganku, menggenggamnya erat. Sementara tangan kanannya tak kalah jua diarahkannya menuntun daguku agar pandangan kami berakhir lebih sejajar.
"Ada aku, tidak perlu takut."
Masih dengan senyum manis yang setia diperlihatkannya. Bahkan, seakan menjadikan perlawanan itu tak dapat aku lakukan.
Kini, aku bisa merasakan, genggamannya yang bak menuntun langkahku dalam kesunyian malam. Hingga berakhir tiba di pintu utama, sebuah suara kian berhasil membuat langkahku terhenti.
"Selamat datang di Rendra's Cafe, Tuan, Nyonya."
Sedikit dibuat tersenyum simpul. Netra cokelatku sudah beralih menatap wanita yang tak jauh berbeda usia denganku.
Meski rasa letih terlihat menggelayuti. Namun, tak sedikit pun mengurangi kadar antusias nya sebagai pekerja. Bahkan, tangan kanannya tak segan diarahkannya menyilang di depan dada. Dengan tak lupa, diiringi gerakan tubuh yang sedikit dibuat membungkuk ke depan.
"Terimakasih."
Hingga setelah ungkapan itu terlontar. Yang juga membuat bibirnya melengkung tipis. Aku bisa merasakan, genggaman tangannya kian menuntun tubuhku kembali melangkah.
Sementara bersamaan dengan itu. Aroma latte tak kalah jua menguar, menusuk indra penciumku. Meski berulangkali mengerjap. Berusaha menyesuaikan objek yang di dapat. Namun, tak lepas membuat netra cokelatku berhenti bergerak mengamati sekitar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
Narrativa generale•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019