17-Perpisahan

34 8 1
                                    

Tok Tokk Tokkk

"Kayla."

Meski panggilan tersebut berbaur dengan suara ketukan pintu. Namun, tak ayal menjadikan tanganku berakhir memasangkan bross secara asal pada jilbab segiempat yang dikenakanku. Bahkan, tanpa kembali menatap cermin dihadapanku, tubuhku kini sudah dibuat beranjak dari kursi.

Sementara bersamaan dengan itu, daun pintu nampak sudah terbuka lebar. Menampilkan sesosok pemilik suara yang masih enggan beranjak dari ambang pintu.

Tatapannya yang intens tanpa diiringi kedipan, membuatku yang dilanda kikuk mengulas senyum paksa.

Meski statusnya sudah menjadi pelengkap shaf depanku. Tetap saja, rasanya hatiku masih enggan menerima kehadirannya. Terlebih, saat jenjang kakinya yang perlahan melangkah menghampiriku. Tak memungkiri, untuk takut dan khawatir itu kian membaur menjadi satu. Hingga sampai langkahnya mendekat, menyisakan jeda lima senti. Semakin kuat, aku mengepalkan kedua tanganku.

Seolah Davin berhasil mengunci setiap akses tubuhku hanya dengan netra intens nya. Kini, dengan tangan kanan yang terulur menyentuh pipiku, bak menjadikanku begitu kelu walau sekedar melakukan penolakan.

Allah, apakah Davin telah melupakan perkataanku?

Sembari menelan saliva kasar, ku gerakkan tanganku meremas kuat gamisku. Bahkan, seiiring sentuhan hangat itu meninggalkan desiran yang teramat hebat, pikiran buruk kian tak segan jua memenuhi kepalaku.

"Kamu...."

Dengan menggigit bibir, tanganku kian sudah mengepal kuat. Benar. Sebelum apa yang aku pikirkan terjadi nantinya. Setidaknya, aku harus lebih dulu mencegahnya.

"Kay terlalu berlebihan ya, Mas?" ucapku, diiringi senyum kikuk. Karena mengingat jua, aku belum sempat mengoreksi polesan wajahku.

Sementara Davin, ia terlihat menggeleng pelan. Lantas setelahnya, lengkungan tipis tercipta di bibirnya.

"Cantik."

Blush

Meski hanya dengan satu kata yang meluncur. Tak memungkiri, untuk guncangan itu menghantam hebat tubuhku. Tak hanya itu, dengan perubahan area wajahku yang memanas, rasanya aku begitu yakin jika rona pipiku pasti sudah ikut menyamai kepiting rebus. Tapi, Davin—

"Kay... wajahmu memerah," ucapnya, setelah menurunkan tangannya.

Deggg

"Astaghfirullah, mengapa harus menyadarinya?"

Tak peduli dengan hasil make up ku yang menjadi luntur nantinya. Dengan cepat, ku gerakkan tanganku mengusap wajahku. Namun, belum sampai puas aku melakukannya, tangan kekar itu justru lebih dulu menghentikan aktivitas kedua tanganku.

Sorot matanya yang kian mendalam, lagi-lagi menjadikanku begitu kelu untuk melakukan perlawanan.

"Hey! Aku bercanda, sayang."

"Hahaha."

Seakan menjadikan tubuhku yang semula melangit ke udara terhempaskan kembali ke bumi. Kini, dengan rasa malu yang ikut berbaur menjadi satu, aku pun memilih mengalihkan pandanganku.

Entah mengapa, rasanya emosiku benar-benar ingin membuncah. Jika saja yang melakukannya Bang Rafka, pasti aku sudah membuatnya babak belur.

"Kayla."

Memilih tak mempedulikannya, aku tetap dengan posisiku. Hingga sampai dengan tawanya yang sempurna berhenti, semakin kuat aku mengepalkan kedua tanganku, seiiring sentuhan hangat itu kembali menyentuh pipiku.

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang