38-Ungkapan Hati

18 4 0
                                    

Memilih berakhir menyerah. Aku pun bisa merasakan genggaman tangan itu kian menuntunku untuk melangkah. Hingga berakhir tiba di hadapan kedua paruh baya itu, aku bisa merasakan genggaman tangannya kian perlahan terlepas beralih mencium punggung tangan keduanya bergantian.

Sementara Mama, Papa—tentu mereka tak kalah jua antusias memberikan sambutan kepada kami. Bahkan, aku bisa merasakan pelukan hangat itu semakin menjalar di tubuhku seusai tangan kananku yang juga terulur mengikutinya mengecup punggung tangan wanita itu.

"Mama benar-benar rindu sekali padamu loh, sayang," ucapnya, tak lama Mama pun melepas pelukannya. Berganti menatapku dengan senyum khasnya.

Sembari meremas jari-jemari. Tak segan, aku jua ikut mengulum senyum. Meski hubunganku terhitung cukup dekat sudah dengan Mama. Tak bisa dibohongi, jika rasa kikuk itu seringkali melandaku.

Namun, Mama—sepertinya ia jua mengerti akan yang aku rasakan. Kini, tatapannya justru dibuat beralih mengarah Davin yang nampak sibuk bertukar kabar dengan sang Papa. Membuatku pun lantas memilih merundukkan wajahku.

"Bagaimana dengan perkembangannya, Vin?" ucapnya, membuat pembicaraannya tak segan berhenti. Berganti, dengan keheningan yang melanda. Membuatku semakin berpikir, jika sang empu pun tak mengerti arah pembicaraan sang Mama.

Namun, sepertinya, aku sendiri dibuat salah menduga. Suara itu justru berakhir merambat, membelah kesunyian.

"Sedikit jauh lebih baik, Ma."

"Benar bukan, sayang?"

"Hah?"

Karena aku yang juga begitu refleks, kalimat itu meluncur begitu saja di bibirku. Tak lupa juga, dengan wajah yang sudah terangkat menatapnya.

Sementara Davin, tak perlu ditanya. Kini, ia sudah tersenyum simpul seolah tengah jua menahan kekehan geli. Membuatku pun dengan ragu memberanikan diri mengalihkan pandanganku.

Dan benar saja. Dengan tangan yang melingkar di pergelangan Papa, kekehan geli tercipta jelas di bibir Mama. Hingga setelah mendapati gelengan kecil dari Papa, aku pun memilih kembali merundukkan wajahku. Tak mengerti apa yang tengah dibicarakannya.

💔💔💔

Berulangkali mengerjap. Netraku kian berbinar indah. Bahkan, karena terkagum takjubnya, bibirku tiada henti bergerak mengucap kebesaran asma Allah.

Dengan pelataran yang masih berjeniskan tanah. Tak lupa, dilengkapi tanjakan sebagai penghubung menuju bagian atas lahan. Beberapa pohon dan bunga kecil kian ikut memadati pinggiran.

Tak hanya itu, untuk menciptakan keselarasan yang ada, sebuah gubuk kecil terlihat jua hadir melengkapi sisi tengah. Sementara agar menjadikannya terkesan lebih hidup. Gemericik air yang bersumber dari kolam tak kalah mengalun, beradu dengan dersikan angin.

Perlahan, namun pasti. Ku gerakkan kakiku melangkah menaiki tanjakan tersebut. Hingga berakhir tiba dipuncaknya. Tak henti, aku mengedarkan pandangan sekitar.

Bahkan, Allah... Jika pun boleh mengakui. Sungguh, rasanya ini akan menjadi kali pertama hatiku jauh lebih dibuat bahagia. Dan untuk mengutarakan kata syukur itu—entah, harus dengan cara seperti apa, Allah.

Memiliki keluarga kecil yang bahagia, serta hidup berkecupan. Tentu, tak lain adalah impian semua orang. Tapi, aku—entah mengapa, seringkali celah akan kehampaan itu terbesit benar adanya, Allah.

Aku sangat tahu, jika ini hanya perihal keraguan. Meski pada nyatanya, aku pun tak bisa membohongi, jika seringkali bayang Izhar justru menuntunku untuk terjerat di dalamnya. Tapi, sampai kapan?

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang