28-Luka

22 5 1
                                    

Meski dahiku sudah dibuat berkerut. Namun, tak sedikit pun membuatku berhenti begitu saja. Benar. Sepertinya benda ini akan menjadi petunjuk atas kebimbanganku selama ini.

Tak menunggu lama. Perlahan, ku gerakkan tanganku membukanya. Hingga tepat saat buku itu menampilkan sesuatu di dalamnya, aku bisa merasakan aliran tubuhku yang berubah menegang.

"Tasbih ini—"

Tak berhenti sampai itu. Kini, netra cokelatku masih dibiarkan bergerak menyapu lembaran kosong itu. Hingga—

"Muhammad Izhar Haidar."

Deggg

Seperti jantungku dibuat berhenti berdetak. Bahkan, dengan netra yang sudah berubah memanas, tanganku tak segan terulur meraih tasbih itu.

"Apakah ini alasan sebenarnya?"

Semakin mencengkramnya erat, langkahku sudah dibuat mundur. Hingga berakhir dengan menghempaskan tubuh di sofa. Dengan getaran tak kalah hebat, ku gerakkan tanganku membuka lembar setelahnya.

---------

Teruntuk Calon Imamku
Muhammad Izhar Haidar

Seperti bunga yang bermekaran di malam hari. Ribuan bintang telah datang menyinari. Bahkan, rembulan yang selalu kesepian, kini tak lagi merana akan kata penantian.

Sedikit saja, tak pernah aku membayangkan jika kata itu akan terlukis indah di bibirmu. Menyisakan getaran hebat, kala tasbih ini menjadi saksi akan cinta kita yang tak pernah sampai.

Jika akhir dalam suatu kisah adalah kembali pada penantian. Tentu. Aku akan tetap berada sejalan. Seperti halnya butiran tasbih yang tiada henti terlantunkan. Terukir indah melengkapi sajadah sepertiga malam.

Sampai masa itu tiba, bait cinta ini akan tetap sama. Teriramakan dalam do'a. Teruntuk menanti janji, jannah bersama.

29/06/2013


Layaknya terhunus ribuan pedang. Dengan memilih menutupnya cepat, bahkan, air mata kini sudah membasahi wajahku. Cukup! Rasanya aku benar-benar tak sanggup.

Demi Allah, rasanya hatiku seperti dibuat patah berkeping-keping. Dan pada nyatanya, kenyataan pahit ini lah yang lebih daripada membuatku tersungkur jatuh.

Mengapa. Mengapa harus saat ini?

Menyeka air mata pelan, ku gerakkan netra cokelatku menatapnya. Bahkan, meskipun aku mencoba memposisikan status pernikahan ini berganti menjadi teman. Nyatanya, ia masih terus saja menganggapku lelaki asing.

Dengan balutan hijab yang selalu melekat di kepalanya, bukankah itu cukup menjadi bukti bahwa ia memang tak pernah menginginkan pernikahan ini terjadi?

Tesss

"Aku tak menyangka, jika dirimu yang menggores luka di atas penantian sepuluh tahun ini, Zahra."

💔💔💔

Setelah menatapnya bimbang. Kini, dengan ragu ku ulurkan tanganku menyentuh lengannya yang menutupi sebagian wajahnya.

"Mas Davin."

Menariknya kembali. Aku berusaha menahan gemuruh kencang, saat mendapati pergerakan tangannya beralih pada dada bidangnya. Hingga setelah menetralisir detak jantung ku. Perlahan, ku beranikan tanganku menyentuh kembali lengannya.

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang