Dengan tangan yang hendak terulur meraih salah satunya. Kini, aku harus menggigit bibirku saat sebuah suara berhasil membuat urung niatku.
Sebenarnya aku bisa saja mengambilnya. Namun, karena rasa gengsi yang terlalu tinggi, membuatku lebih memilih memendam ke-ingintahuanku akan isi buku yang berkaitan dengan profesinya.
"Belum tidur?"
Menggeleng pelan, tubuhku sudah dibuat berputar menghadapnya.
Jika semula hawa dingin AC menyambut hingga menusuk kulit. Namun sekarang, entah mengapa, seakan tak mampu memberikan efek apapun pada tubuhku.
Bahkan, meski aku sudah terbiasa satu kamar dengannya. Namun, sungguh, kali ini rasanya begitu berbanding terbalik. Terlebih, saat daun pintu itu terdengar ditutupnya sempurna. Membuat getaran hebat seakan kembali mengguncang tubuhku.
Masih dengan wajah merunduk. Semakin kuat, aku mengepalkan kedua tanganku. Bahkan, mataku kini tak segan dibuat terpejam seiiring derap langkahnya menghampiriku.
Bak menonton film horor. Keringat dingin kian sudah membanjiri tubuhku. Begitu juga dengan pikiran buruk yang tak segan merasuk otakku. Benar. Rasanya ketakutan kali pertama menikah dengannya seakan berotasi kembali pada malam ini.
Namun, menyadari satu menit telah berlalu tanpa diiringi tanda-tanda darinya melakukan apapun. Membuatku pun lantas memberanikan membuka mataku. Tidak ada.
Dengan jantung yang bergemuruh kencang. Perlahan, aku mengedarkan pandangan sekitar. Hingga dalam tepian ranjang. Terlihat, dalam satu tarikan bibirnya melengkung tipis dengan netra cokelat yang berada satu garis lurus.
Seakan mampu dibuatnya terhipnotis. Bahkan, seluruh akses tubuhku kini bak dibuat berhenti. Hingga sebuah suara, berakhir membuyarkan lamunanku begitu saja.
"Tidur, Kay. Sudah malam."
Menyadari posisinya yang tak sampai tiga puluh centi, dengan tangan yang masing-masing membawa bantal. Membuatku pun dengan cepat kembali merundukkan wajah. Lantas, setelahnya aku memberanikan membuka mulutku.
"Tapi, Mas Davin..."
"Aku akan tidur di sofa."
Menggeleng pelan. Wajahku sudah dibuat terangkat menatapnya. Semenjak status kami berganti, ia memang selalu membatasi diri denganku. Seperti dalam hal tempat tidur misalnya.
Meski seringkali aku memintanya untuk roolingan. Namun, Davin—ia tetap tak mengubrisnya. Membuatku tentu, tak akan membiarkannya melakukan untuk kesekian kalinya. Bukankah Davin adalah raja dalam rumah ini?
"Tidak Mas. Biarkan Kay saja yang di sofa," ucapku meyakinkan. Membuat tarikan nafasnya terdengar panjang.
"Meski status aku dan kamu berganti menjadi teman. Tapi, kamu tetap istriku, Kay."
Seakan menjadikan desiran hebat kembali menjalar di tubuhku. Bahkan, kedua tanganku sudah mengepal kuat.
Menarik nafas pelan, aku berusaha menahan detak jantungku yang kian bergemuruh kencang. Nyatanya, sikap keras kepalanya masih saja tak dapat sirna. Membuatku benar-benar begitu membenci situasi ini.
"Tapi, kamar ini milik Mas Davin. Kay..."
Karena tak dapat lagi menahan rasa sesak yang ada. Dengan menggigit bibir, perlahan aku merundukkan wajahku.
"... hanya menumpang."
Untuk sesaat hanya ada keheningan yang melanda. Hingga setelah hembusan nafasnya terdengar, aku bisa merasakan sentuhan hangat pada bahu kananku.
"Dengar. Aku adalah suamimu. Aku yang memegang tanggungjawab atasmu sepenuhnya."
Meski kalimat tersebut sudah tak asing keluar dari mulutnya. Entah mengapa, rasanya hatiku bak seperti dibuat teriris. Terlebih, saat permintaan Mama yang ikut tiada henti berotasi. Membuat rasa bersalah itu kian menghimpit rongga hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
Fiction générale•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019