14-Maaf

37 10 1
                                    

Dengan keringat dingin bercucuran. Tak henti, aku meremas kedua tanganku. Bahkan, untuk saat ini rasanya tak ada yang dapat aku lakukan selain duduk terdiam dipinggiran ranjang.

Setelah selesai menyambut para tamu undangan. Aku memang sempat bersikeras ingin membantu Ibu di dapur. Namun, dengan Ibu yang justru menolak keras hal itu, karena tentunya ini tak terlepas dari alasan status baruku. Membuatku mau tak mau menurutinya.

Sejenak, ku gerakkan netra cokelatku mengarah benda bulat yang terpampang disisi kiri tembok.

Pkl. 21:00 wib.

Semakin dibuat gusar. Aku bisa merasakan, detak jantungku yang kian abnormal. Pasalnya, sudah satu jam lamanya Davin sibuk menyambut beberapa teman lamanya di ruang tamu. Dan tak dapat memungkiri, jika dalam beberapa menit lagi ia pun akan menuju kemari.

Bahkan sialnya lagi, bayangan dimana yang mestinya dilakukan sepasang pengantin baru, kini justru tiada henti berputar di otakku. Menjadikan tubuhku benar-benar bak nyaris merinding.

Bukannya bagaimana. Hanya saja, untuk sekedar menghapus nama Izhar, hatiku masih begitu enggan. Dan kini, aku justru lebih dihadapkan kenyataan pahit, bahwa Davin lah—imam hidupku sesungguhnya.

Lagi. Untuk berbicara perihal Davin, sepertinya Allah mengabulkan hal itu. Meski terdengar samar. Namun, aku dapat menangkap jelas, suara derap langkah kaki yang kian perlahan menghampiri kamarku.

Semakin dekat dan semakin dekat. Jantungku kembali dibuat berdegup kencang. Hingga—

Ceklekk

"Assalamu'alaikum."

Dengan menelan saliva kasar, wajahku kian sudah merunduk. Bahkan, tanganku masih tak henti meremas jari-jemari. Berusaha menahan gugup yang menyelimuti.

"Wa... wa'alaikumussalam."

Hening.

Tak ada pembicaraan setelah itu, selain suara daun pintu yang tertutup. Tidak! Lebih tepatnya sengaja ditutupnya. Menjadikan suasana bak benar-benar menegang.

"Kayla."

Seakan mampu menciptakan desiran hebat yang menjalar. Kini, dengan suara berat itu, tak segan memberikan efek panas pada tubuhku.

Entahlah. Semenjak hadirnya, suhu kamarku seakan berubah drastis sembilan puluh derajat. Terlebih, saat jenjang kakinya melangkah mendekat.  Sungguh, Allah... apakah hari bersejarah itu akan terjadi malam ini?

Semakin kuat, aku mengepalkan kedua tanganku. Hingga sampai, pergerakannya terduduk disampingku. Aku bisa merasakan, deru nafasku bak dibuat tercekat seiiring hembusan nafasnya menerpa wajahku.

Meski memilih bertahan untuk tidak menatapnya. Namun, dengan sentuhan tangannya yang meraih daguku, membuat netraku mau tak mau berakhir beradu dengannya.

Bibir delimanya yang mengulas senyum, juga tatapannya yang menjurus tanpa berkedip. Tak memungkiri, untuk detak jantungku kian kembali bereaksi.

Dan—seakan tubuhku dialiri ribuan listrik. Kini, aku bisa merasakan ketegangan itu bak menghantam, saat sentuhan itu berganti mendarat di pipiku. Lagi. Dengan tak tahu malunya, otakku justru tak henti dipenuhi pikiran buruk tentangnya.

"Aku tahu ini pasti berat untukmu, Kay."

"Dan aku... aku tak akan meminta hak ku selama keraguan itu masih ada dihatimu."

Meski pernyataan seperti ini lah yang aku inginkan darinya. Tak memungkiri, untuk rasa sesak itu seperti mengiris hatiku.

Oh, Allah... apakah Davin juga mengetahui, jika pernikahan yang ku lakukan ini semata-mata karena terpaksa?

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang