Seperti tengah dibuat menunggu hasil pertandingan sepakbola, semua pasang mata kini tertuju pada benda pipih yang tergeletak manis di meja. Entah, sudah keberapa puluh menit lamanya mereka dibuat demikian. Bahkan, suara detakan jantung pun tak kalah abnormal.
Drrttt Drrrrtttt
Dengan cepat, semua pasang mata beralih menatap sesosok gadis dengan tak kalah pucat di wajahnya.
Sementara yang menjadi sang empu, hanya bisa menelan ludah saat mendapati wajah penuh harap dan anggukan dari kedua paruh baya itu.
Sedikit dibuat ragu, kini netra cokelatnya berganti menatap pria muda disampingnya. Seakan keyakinannya dibuat bertambah bulat. Mendapati senyum tipisnya, perlahan membuat tangannya terulur meraih benda tersebut.
Hingga sempurna sudah menempel di telinga kanannya, sebuah hantaman berhasil menyerang dadanya. Bahkan, butiran bening pun tak segan mengalir di pipinya.
Brakkk
Karena tak kuasa menyangga beban pada tangannya. Kini, ponselnya berakhir luruh begitu saja dalam genggamanya.
Seperti dibuat tersungkur jatuh atas sebuah pengharapan, rasa sesak itu kian kembali menjalar. Bahkan, bibirnya yang semula merapat, kian sudah berganti gemetar.
"M... mas Da... vin kecelakaan."
💔💔💔
Dengan butiran bening yang meluruh, kedua tanganku kian mengepal kuat. Bahkan, untuk sekedar melanjutkan langkah saja, kakiku seakan dibuat kaku.
Entah, Allah... apakah aku harus bahagia dengan musibah ini? Ataukah sebaliknya?
Ya. Bukankah sudah sepatutnya aku lebih daripada bahagia dengan musibah ini? Menikah dengan Davin memang tidak ada dalam kamus hidupku, bukan?
Tapi, Allah.... Sungguh, itu semua diluar dugaanku. Bahkan, rasa sesak justru semakin menyelimutiku saat mendapati wajah pilu dua sosok paruh baya itu.
Dengan sedikit menarik nafas, aku bisa merasakan sentuhan halus pada kedua bahuku. Ya, siapa lagi jika bukan Bang Rafka.
Kepulangannya hari ini memang tlah diurungkannya. Apalagi, jika demi ingin bertemu Davin. Karena menurutnya, seorang kakak mesti juga andil dalam memilih calon pasangan untuk sang adik. Dan tentu, aku pun tak keberatan dengan hal itu. Bukankah secara tak langsung Bang Rafka peduli denganku?
"Ayo, Dek!" ucapnya, dengan tangan yang sudah sigap menuntunku.
Namun, sebelumnya melanjutkan langkah, ku gerakkan netra cokelatku beralih mengarah sisi kiri. Dimana senyum Ayah dan Ibu nampak tercetak jelas di bibirnya.
Perlahan, namun pasti. Meski dengan langkah tertatih, aku bisa mendengar jelas bagaimana tangis histeris itu semakin memekakan telinga. Bahkan, tak segan menusuk hingga rongga hatiku yang paling dalam.
"Davin, Pa hiks hiks bagaimana jika hal buruk terjadi padanya hiks hiks."
"Sssttt Davin kita pasti baik-baik saja, Ma. Kita harus berdo'a."
"Ta... tante."
Dengan tatapan yang sudah memanas, semakin kuat aku mengepalkan kedua tanganku. Hingga tak lama, butiran bening itu kembali luruh, saat uluran tangan wanita itu berganti memelukku erat.
"Davin, Nak hiks hiks."
Seakan menjadikan sesak itu kembali menghantam dada. Meski ragu itu terbesit dihatiku. Tak lepas, ku ulurkan tanganku menyentuh punggung wanita itu. Bahkan, tubuhku kini sudah lebih bergetar tak kalah hebatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernah Patah
General Fiction•••••• Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hatiku nanti saat melihatmu mengucapkan akad dihadapanku, namun bukan diperuntukkan untukku. Wanita yang "Pernah Patah" dalam mencintaimu. 16/02/2019