47-Surat?

15 2 0
                                    

"Aku tunggu di luar."

Belum sampai aku menyelesaikan kalimatku. Perkataan itu kian terlontar begitu saja dari mulutnya. Bahkan, dengan tubuhnya yang sudah beranjak keluar. Tak segan, menjadikan lengkungan tipis terukir di bibirku.

Tak ingin membuatnya menunggu terlalu lama. Dengan cepat, aku bergegas meraih tas di dalam kamar ku.

Setiap satu bulan sekali, Davin memang tak lepas memberikan tanggungjawabnya untuk memenuhi kebutuhan yang ada.

Meski aku sempat menyangkalnya. Karena nilai yang diberikannya begitu besar. Tetap saja, ia akan jauh memilih menyangkal dengan alibi itu adalah hak ku. Membuatku alhasil mau tak mau pun menerimanya.

Setelah berhasil menuruni anak tangga juga tak lupa mengunci daun pintu. Kini, aku sudah dibuat memasuki mobilnya yang terparkir di halaman rumah.

***

Bangunan demi bangunan kokoh telah kami lewati. Bahkan, karena suasana hening yang melanda. Menjadikan otakku tak segan menarik ingatanku mundur kala mobil yang aku tunggangi melintasi sebuah Cafe.

Benar. Rasanya aku begitu ingat, saat dimana kali pertama ia membawaku mengunjungi sebuah Cafe miliknya dengan alibi memenuhi undangan pesta temannya.

Tentu. Mengingat kembali hal itu. Tak dapat membohongi, membuat butiran bening kian mengganjal di kelopak mataku. Namun, dengan situasi seperti ini, membuatku sebisa mungkin menahannya.

Karena terlalu sibuk mengenang memori indah bersamanya. Membuatku kini tak menyadari, jika laju mobil yang aku tunggangi berada sudah di area pusat perbelanjaan. Hingga sampai dengan laju mobilnya terhenti. Tak segan, aku pun beralih menatapnya, usai lamunanku sempurna membuyar.

"Mas. Ingin masuk ke dalam?"

"Disini saja."

Meski sedikit teriris mendapati penuturannya jauh diluar ekspetasi. Namun, sebisa mungkin aku memperlihatkan senyumku. Tidak! Bukankah seharusnya aku perlu bersyukur, walau dirinya sekedar mengantarku?

"Zahra ke dalam ya, Mas."

💔💔💔


Setelah lama berkeliling mencari kebutuhan yang diperlukan. Kini, aku pun bergegas menghampiri kasa guna melakukan transaksi penebusam barang.

Meski membutuhkan waktu cukup lama dalam mengantre. Namun, tak lepas membuatku setelahnya bernafas lega, saat giliranku telah tiba. Begitu pun seusai pengecekan, aku jua tak lupa menyodorkan atm ku sebagai bukti tunai lain dalam pembayaran.

Dan tak menunggu lama. Dengan kedua tangan yang masing-masing membawa kantong kresek. Aku pun melenggang cepat, meninggalkan tempat ini.

Karena fokus ku saat ini hanya padanya yang sudah dibuat menunggu lama. Membuatku kini tak menyadari akan posisi jalanan dihadapanku yang mengalami penurunan. Hingga—

Brukkk

Ditengah tubuhku yang terdorong ke depan, sebuah benda kian lebih dulu menahanku. Menjadikan tubuhku pun sontak tak berakhir jatuh terjerembab.

Sementara bersamaan denganku, yang berusaha mengumpulkan kesadaran yang ada. Sepasang mata kian ikut jua mengamatiku dengan luapan amarah yang bersiap membuncah.

Kini, dengan irama jantung yang memompa lebih cepat. Bahkan, dengan area tubuh yang bak terkunci, tatapanku masih tak lepas beradu dengannya.

Binar netranya yang selalu menyiratkan keteduhan, ujung hidung yang sedikit runcing, kemudian dipadu bibir tipisnya, seakan menjadikan ruang sadarku kian perlahan kembali. Hingga setelah menyadari siapa pemilik rupa itu sesungguhnya. Dengan cepat, aku pun menjauhkan tubuhku.

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang