34-Tak Terduga

22 3 0
                                        

Dengan gerak cepat, tanganku tak henti menyibak deret pakaian yang menggantung dalam lemari tersebut. Hingga setelah yang menjadi tujuan utama berhasil ditemukan, aku pun bergegas menghampiri sosoknya yang tengah sibuk mengaitkan kancing kemejanya.

Seusai peristiwa di kota hujan, aku memang sudah menerapkan kebiasaanku untuk menghabiskan jam tidurku setelah kepulangannya. Namun, karena aksinya yang semalam tiada henti berbincang kesana-kemari. Menjadikan tragedi lambat terbangun pun berangsur saat ini.

Dan lagi, beruntungnya dua hari ini Mama, Papa tengah berada di luar kota. Membuat tipis kemungkinan untuk berakhir mencoret namaku dalam list menantu.

"Ini, Mas," ucapku, sembari memberikan jas almamater yang semula dimintanya. Membuatnya pun dengan cepat menyambarnya. Lantas, tak lupa membalutkannya di tubuhnya.

"Tas ku, Kay. Tolong."

Mengedarkan pandangan sekitar. Tatapanku sudah dibuat berhenti pada benda persegi yang tergeletak di atas nakas. Hingga dengan berlari kecil, aku pun mulai meraihnya, kemudian kembali menghampirinya.

"Ini, Mas."

Tak menunggu lama. Tangan kirinya kini sudah mengambil alih tas dalam genggamanku. Hingga setelahnya, terlihat tangan kanannya berganti terulur.

Mengerti akan maksudnya, aku pun mengulurkan tangan kananku. Lantas, mengecup punggung tangannya.

Sementara bersamaan dengan itu, aku bisa merasakan tangan kirinya yang kian mengusap lembut puncak kepalaku yang terbalut hijab.

"Terimakasih ya, sayang."

Cupp

Meski kecupan itu bak kilatan petir, karena sang empu yang lebih dulu melenggang pergi. Namun, cukup menyisakan ketegangan hebat pada tubuhku.

Dan lagi-lagi, aku hanya bisa menahan rasa kesal ku. Tak asing, dengan perlakuannya yang beberapa hari ini seringkali berlaku curang dengan mendaratkan kecupan secara tiba-tiba.

***

Sesekali ku gerakkan tanganku menyeka keringat dingin yang membasahi wajahku. Meski tak membuat benda dalam genggamanku bergerak terhenti menyapui lantai. Namun, tak bisa membohongi, jika rasa letih dan kantuk itu telah berbaur menjadi satu di tubuhku. 

Sungguh, rasanya aku sendiri pun tak habis dibuat berpikir. Bagaimana bisa, dalam perbincangan yang tak bermutu itu, membuatku justru melupakan resiko yang terjadi setelahnya?

Baik. Mungkin aku bisa memaklumi, jika jam tidurku yang semula menghabiskan tujuh jam berganti menjadi lima hingga enam jam. Tapi, dalam tiga jam—

Kring Kringg Krinnggg

Meski sedikit tersentak. Namun, tak segan membuat tanganku refleks menjatuhkan sapu tersebut. Hingga setelah mendapati asal sumber suara. Dengan cepat, aku pun bergegas menghampiri nakas yang berada tak jauh dari posisiku.

Benar. Suara itu tak lain adalah dering telepon rumahnya.

Menarik nafas sejenak, lantas menghembuskannya pelan. Dengan ragu, ku ulurkan tanganku meraih benda putih tersebut. 

Pasalnya bukannya apa. Untuk sekedar menyentuh benda ini saja, rasanya aku tak memiliki nyali. Apalagi, jika tidak ingin melancangi pemiliknya.

Namun, setelah mendapati suara itu lebih dulu merambat. Entah mengapa, seakan membuat kelegaan tersendiri untukku.

"Hallo. Assalamu'alaikum, Kay. Ini aku, Davin."

"Wa'alaikumussalam, iya Mas, apakah ada sesuatu yang tertinggal? Kay akan segera mengantarkannya" balasku, tak kalah cepat dengan perkataannya.

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang