09-Si Kecil, Nala

62 13 0
                                    

Seakan ditarik mundur pada peristiwa beberapa jam yang lalu. Kakinya yang hendak melangkah—menuruni anak terakhir, kini terpaksa di urungkannya saat netra cokelatnya yang tak sengaja menangkap sesosok punggung pria di ambang pintu.

Dengan sekuat tenaga, tangannya terus meremas erat gamisnya—berusaha menahan desiran hebat yang kembali menyerang dada.

Hingga setelah dimana dirinya menyadari bahwa punggung yang semula diamatinya terganti sudah dengan deretan gigi putih, dengan cepat wajahnya kembali dibuat merunduk.

Tak henti, bibirnya mengucap asma Allah. Bahkan, tak segan ia pun menelan salivanya demi mengurangi rasa takut yang mendominasinya.

Lantas, setelah semuanya membaik. Perlahan, kakinya ia beranikan melangkah. Hingga tepat menyisakan jeda satu langkah dengannya, sesaat keheningan melanda pada keduanya.

"Hmm. Maaf jika kedatanganku sebelumnya tlah mengganggumu," ucapnya, lantas setelahnya tangan kanannya mulai merogoh saku celananya—seolah tengah mencari sesuatu di dalamnya.

"Aku kemari hanya ingin mengembalikan ini," tambahnya, membuat wajahku yang semula merunduk kembali dibuat terangkat.

Dan—

Bagai tersambar petir kala itu. Aku bisa merasakan, tubuhku yang kini berubah menegang. Tak hanya itu, aku pun bisa merasakan perubahan pada lidahku yang begitu kelu.

"Ta... tasbih?"

Masih terus mencerna, otakku kian tak henti berpikir keras. Mengapa bisa? Mengapa bisa, Allah?

Bagai slide dalam layar lebar. Memori itu seakan berkelibatan di otakku. Dimana rasa patahku yang besar tlah membuatku hilang keseimbangan, hingga menyebabkan tubuhku jatuh terjerembab. Apalagi, jika bukan tak mampu menahan benda jangkung yang dihadapanku.

Ya. Benda jangkung itu tak lain ialah tubuh Davin. Dan bodohnya aku, mengapa aku bisa melupakan tasbih itu, Allah? Lalu, Davin apakah ia menceritakan semua hal ini pada Ibu? Keadaanku yang begitu kacau saat itu, aku harap ini tak akan menjadi masalah kedepannya, Allah.

Menyadari tangannya sudah terulur. Dengan menelan saliva, perlahan aku mulai menyodorkan tangan kananku. Sedikit pelan, namun pasti. Aku bisa merasakan, beban itu kian kembali terkumpul, bersamaan tasbih itu luruh—berada sudah dalam genggamanku.

"Terluka?"

Tak ingin mendapat rasa belas kasihan itu. Dengan cepat, aku kembali mengepalkan tangan kananku, meremas erat tasbih itu. Entah mengapa Allah, rasanya walau sekedar mendengar kalimat itu begitu sesak.

"Maaf."

Dan apa katanya? Maaf?

Apakah indra pendengarku tak salah menangkap perkataannya, Allah? Bibirnya mengucapkan kata maaf? Bukankah sepatutnya dia—Izharlah yang mesti melontarkan kalimat itu?

Dan lihat! Setelah peristiwa itu, dimanakah keberadaannya? Tidakkah sedikit pun rasa peduli itu ada untukku?

"Tidak! Ini hanya karena kecerobohanku saja."

"Tidak begitu Kayla...." selanya, namun terpotong karena kehadiran Ibu yang tiba-tiba sudah berada di sampingku.

"Hmm. Di luar begitu dingin. Lebih nikmat lagi, kalian lanjut berbincang di dalam."

Mendengar kalimat itu, aku begitu membenarkannya. Bahkan, meski hanya tinggal menyisakan gerimis kecil. Tak ayal, membuat hawa dingin itu masih terasa hingga menusuk. Tapi, pria itu—lihatlah! Lagi-lagi hanya tersenyum simpul menanggapinya.

Entahlah, hal seperti apa yang tengah merasuki dirinya saat ini.

"Davin tidak terburu-buru, bukan? Tante, sudah siapkan teh hangat untuk menemani kalian."

Pernah Patah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang