'madhava; 01'

569 15 0
                                    

"DHAVA!"

Teriakan menyuarakan nama Dhava, Adrian lakukan. Cowok itu memberi operan bola basket yang telah berhasil ia rebut dari kuasa lawan lalu hendak ia alihkan kuasa kepada Dhava. Yang mendapat seruan nama hanya diam menatap ke arah pinggir lapangan. Kawan satu tim menepuk pundak Dhava hingga otomatis laki-laki jangkung itu menoleh ketika suara teriakan memanggil namanya, kembali terdengar.

Dhava menyambut kehadiran bola oren tersebut dari lambungan tangan Adrian. Mulai menggiring bola dengan kepiawaiannya hingga lawan yang berniat menghadang tak mampu mencuri celah sedikit saja dari cowok itu. Segera menembak bola ke arah ring, akan tetapi situasi selanjutnya tak menimbulkan sorakan kagum. Alasannya karena bola yang melambung itu tak menyentuh ring, melainkan papan ring dan menciptakan pantulan ke sembarang arah.

Pantulan itu tak mencium lantai atau setidaknya dapat kembali Dhava peroleh dalam genggaman. Akan tetapi, mencium kepala seorang cewek yang bersamaan dengan meluncurnya bola itu ia berlari ke tengah lapangan untuk mengambil bola basket miliknya.

Vandana Dineschara berlari ke tengah lapangan untuk mengambil bola milik ia dan teman-temannya, yang mana digunakan bermain di pinggir lapangan. Karena bola itu lepas kendali dari tangan dan berlari ke tengah lapangan, jadi ia mengerahkan jiwa untuk mengambil kembali bola tersebut.

Takdir berkata lain. Ternyata Vanda tergeletak di lantai lapangan basket karena mendapat sosoran kasar dari bola basket. "Aish. Sakit bego!" desisnya. Meskipun kepalanya pusing, tetap saja ia berusaha kembali duduk dan tetap dalam keadaan sadar. Dari sisi lain, Dhava berlari ke pinggir lapangan. Dan di sisi lain pula, Adrian tersenyum melihat Dhava seperti akan melakukan aksi menolong Vanda.

Senyuman Andrian luntur. Karena ia berekspetasi sosok Madhava Catra Airlangga mendekati Vanda dengan membawa kebaikan akan menolong cewek itu. Dugaannya salah besar, karena cowok gengsi dan keras kepala itu malah berjongkok di samping Vanda untuk mengambil kembali bola basket. Menyeruakkan decakan kesal dari bibir Adrian, "Bocah prik."

"Eh, eh. Lo cuma mau ambil bola?" tanya Vanda dengan tangan masih menempel di kepala karena pusing. Wajahnya memasang ekspresi terkejut sekaligus tak percaya. "Nggak bercita-cita tolongin gue gitu?"

"Cita-cita gue banggain bokap nyokap." Dhava memberi jawaban menohok dengan wajah polos.

"Brengsek."

"Maksut lo?"

"Di mana-mana ada orang jatuh di deketnya, ya tawarin bantuan atau langsung ditolong kek. Bukan malah kayak lo gini." Vanda mengoceh sekali tarikan napas.

"Bisa bilang baik-baik, kan?"

"Iya, tapi setidaknya lo peka dong."

"Kalau mau apa tuh bilang, bukan nyuruh cowok peka. Cewek emang selalu gitu?"

Vanda menyedot oksigen dengan rakus menggunakan kedua lubang hidungnya. Menatap sinis kepada cowok di depannya itu. "Nggak, gue cewek mandiri. Nggak butuh bantuan lo, thanks." Vanda memaksakan diri berdiri dari duduknya. Ingin pergi saja dari radar cowok menyebalkan tersebut. Dan, kepergian cewek itu tak lepas dari sorot mana Dhava. Sehingga ketika melihat cara jalan Vanda dan detik-detik ketika cewek itu akan luruh, Dhava segera mendekat menggapai tubuhnya.

Sadar ketika Dhava mengambil posisi setengah memeluknya. Vanda tahu cowok itu datang dengan niat menolong, tapi Vanda spontan mendorong kasar tubuh Dhava. Membuat Dhava terhuyung ke belakang. Begitu pula Dhava reflek menggapai tangan kanan dan kiri Vanda. Menebak perbandingam berat badan Dhava dan Vanda, jelas Dhava jauh lebih kuat dan menyeret bebas tubuh kecil Vada. Sehingga hal yang terjadi pada hitungan detik berikutnya menciptakan gaduh anak-anak di lapangan.

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang