TIDAK ada teguran atau sapaan senyum tipis baik dari Vanda atau pun Dhava. Saat di kantin, ia hanya makan bersama Jenta. Pulang kadang di jemput oleh Kafka atau naik angkutan umum bersama Jenta. Dhava tidak lagi menawari Vanda untuk pulang bersama, makan bersama di kantin, ke rumahnya, apalagi sekedar mengirim pesan pun tidak. Ketika cowok itu mulai melenyap sedikit demi sedikit dari hidupnya, perasaan kehilangan mulai dirasakannya.
Penyesalan dan kesadaran, dua kata itu tidak akan bisa dirasakan setelah ada kata ditinggalkan. Vanda merasakan hal itu telah terjadi kepadanya.
Berusaha sebisa mungkin ia melupakan Dhava. Lagi pula mustahil untuknya bisa bersama cowok itu. Dhava terlalu baik untuknya, Vanda merasa kurang pantas mendapat pasangan sebaik cowok itu. Selalu hadir perasaan sesak yang melanda setiap mengingat cowok itu. Vanda memukul dadanya pelan, lalu membawa kepalanya mendongak. Kembali berjalan di koridor gelap dan sunyi.
Setelah dua hari tidak masuk sekolah tanpa kabar dan lagi-lagi Alfa dalam jurnal kelas, tidak ada yang namanya bertanya sedikit saja kenapa ia tidak masuk dari mulut Dhava. Jangan di tanya soal Jenta, cewek itu pasti menanyainya dengan heboh. Sementara Andrian sempat bertanya kepadanya. Tidak dengan Dhava. Cowok tersebut hanya diam.
Kala itu ...
Dhava duduk bersama Vanda. Makan mie ayam berdua. "Dhav, gue baru tahu kalau ternyata makan lo banyak juga," ujar Vanda seraya melilitkan mie ayamnya ke sumpit. Dhava makan mie ayam juga, tidak hanya itu. Dhava memesan cireng, tela-tela, nasi goreng, juga es jeruk. Cukup banyak pesanan cowok itu. Vanda saja yang melihat itu langsung kenyang. "Itu aja yang lo tahu dari gue? Lainnya? Udah tahu apa aja tentang gue?"
"Tau!" sahut Vanda semangat. "Tau kalau lo cowok paling nyebelin." Vanda melahap sadis sumpit yang terlilit mie ayam. Dhava yang melihat hal itu tersenyum tipis. Cowok itu mendekatkan sumpit miliknya untuk meraih dua helai mie yang belum sepenuhnya masuk ke mulut Vanda. Menarik dan mengarahkan ke mulutnya. Jadilah ujung kanan mie di mulut Vanda dan ujung kiri di mulut Dhava.
Sialan.
Scene seperti ini sangat Vanda benci. Karena jantungnya selalu berdetak cepat dan tidak santai.
Dhava menarik maju kurisnya lalu juga mencondongkan kepalanya untuk merebut mie dari mulut Vanda. Bukannya memutuskan mie tersebut, Vanda malah terobsesi dengan Dhava. Menatap cowok itu tanpa berkedip. Dhava lagi lagi tersenyum miring. Ide jahil terlintas, cowok itu semakin mengikis jarak hingga bibirnya benar-benar menyentuh bibir Vanda barulah ia memutus mie dengan giginya dan kembali ke posisi semula.
"Betah liatin gue? Udah mulai suka? Alhamdulillah."
"Ah, sial." Vanda menghentakkan tungkai kanan ketika kilas balik di mana mereka di kantin tanpa aba-aba berputar dalam kepala. Merapalkan sumpah serapah mengapa harus cowok itu yang menerobos kepalanya.
Setiap saat.
Beberapa suara cowok di lapangan mengalihkan intensitasnya. Klub basket sore ini sedang latihan. Itu artinya ada Dhava di sana. Vanda menghentikan langkah kakinya. Memilih menepi ke pagar balkon, melihat ke bawah lapangan. Tangannya tersangga di pagar pendek pembatas balkon. Di bawah sana Dhava sedang latihan bersama teman-temannya. "Fokus, Vanda, Fokus. Niat awal lo mau lupain tuh cowok. Kenapa malah lihatin dia sih," monolog Vanda dengan kesal. Cewek itu kembali berjalan menuruni tangga untuk segera pulang.
─màdhavaňdá─
Kerutan di dahi terukir sejak Vanda meminta menghentikan laju motornya di pinggir hutan lalu menuntunnya untuk menuju suatu tempat, katanya. Dhava hanya diam dan mengikuti. Tidak terlalu jauh dari tempat dimana ia memarkirkan motornya, Dhava dapat melihat sebuah rumah pohon di pinggir jurang. "Rumah pohon?"
"Ya."
"Punya lo?"
"Iya. Sama seseorang. Lo nggk perlu tahu lah."
"Siapa juga yang mau tahu?"
"Yakin gak mau tahu?" tanya Vanda menggoda. Cewek itu menyangga tangannya di tangga menuju rumah pohon itu. "Hm."
Vanda menggerakkan dagunya. "Yaudah. Naik." Mulai naik ke atas tangga. Dhava di belakang menjaga. Sekedar bentuk antisipasi saja untuk menjaga cewek itu. Saat sampai di atas rumah kayu yang tak terlalu besar tersebut terdapat sebuah jembatan di depan rumah itu yang menyajikan pemandangan cukup indah.
Jurang cukup curam dipenuhi bebatuan besar terlihat di depan matanya. Matanya menyipit mendapati sebuah danau bawah sana. Indah. "Dapet tempat sebagus ini dari mana?"
"Entah."
"Suatu kebanggan buat gue. Karena Putri Vanda udah mau nunjukin tempat spesialnya ke gue. Terima kasih."
"Ck. Gue bukan putri."
"Putri Vanda." Dhava masih tetap memanggil Vanda dengan sebutan 'putri' yang terlihat menyebalkan di telinga cewek itu. "Up to you."
Vanda menyikap tudung hoodie yang menutupi kepalanya. Cewek itu mendengus saja lalu duduk di bawah, bersandar di pohon yang menjulang menembus lantai jembatan. Sedangkan Dhava berkeliling mengamati setiap sudut rumah pohon. Matanya menemukan sebuah polaroid foto berbaris rapi di dinding dalam rumah dengan hiasan lukisan-lukisan abstrak bernuansa dark. Terdapat foto-foto masa kecil Vanda dengan seorang anak kecil laki-laki. Foto kecil sampai remaja ada di sana.
"Ini?" kata Dhava menunjuk sekilas ke dinding.
"Apa?"
"Ternyata cowok?"
"Iya. Tapi, cuma sahabat." Vanda menjelaskan dan ikut masuk kedalam rumah pohon tersebut. Dhava tersenyum miring. "Gue gak minta lo buat jelasin. Takut gue marah?"
Menyadari hal itu, Vanda jadi gelagapan sendiri. Duh, pasti Dhava mengira Vanda menjelaskan hal itu agar Dhava tidak cemburu. "B-bukan gitu. Pede banget lo." Vanda memukul lengan Dhava dan segera merangkak keluar dari rumah pohon itu.
Namun, Dhava segera menarik pundak Vanda hingga cewek itu tertarik ke belakang secara tiba-tiba. Terduduk di atas paha Dhava. Cowok itu memeluk Vanda dan menyandarkan kepalanya miring di punggung Vanda. Mungkin hanya tuhan yang mengetahui jika detik ini tengah terukir sebuah senyuman indah pada bibir Dhava. "Saling percaya yang paling penting dalam hubungan. I trust you, you trust me.."
Suara guntur memecah kepingan peristiwa bersama Dhava yang tanpa aba-aba menyela segala pikiran di kepala. Cewek itu terkejut bukan main. Petir menggelora hebat di atas langit. "Ish, kenapa lo muncul terus sih kepala gue," sentak Vanda pada guling di pelukan. Seolah itu adalah Dhava. Cewek itu menendang guling ke lantai lalu menutup wajah menggunakan bantal yang ia gunakan alas kepala.
"Akhhh, pergi dongg, pergi," teriak Vanda. Yakinlah jika ada orang melihat. Cap gila akan otomatis tersemat pada jidat cewek itu sebab perilaku anehnya mengerutkan kening hingga menggelengkan kepala sebab heran.
TBC. Tinggalkan jejak_
Untuk kamu; terima kasih sudah membaca
Arqastic
KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Fiksi Remaja[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...